7.7.12

My Sacrifice


MY SACRIFICE

Like a melody of the morning breeze after the night’s storm,
Like a warm shine of the sun after the rain,
Every human wants a happy ending,
Though life often offers the different choice
and it cost a lot of sacrifice

Lee Donghae lekat menatap formulir kontak ditangannya dengan pandangan bahagia. Akhirnya, kerja kerasnya selama ini terbayar sudah. Penantiannya selama bertahun-tahun yang diselingi banyak keringat dan air mata tak menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Seoul FC, klub yang diidam-idamkannya selama ini akhirnya menemukan bakatnya dan berniat untuk mengontraknya untuk memperkuat kesebelasan itu di liga utama negeri ini. Tak ada yang lebih membanggakan dari pemain amatir seperti dirinya kecuali naik level menjadi pemain profesional, apalagi debutnya kali ini langsung di sebuah klub papan atas Korea. Benar-benar sebuah dream come true untuk Donghae.
“Aigoo…sepertinya gembira sekali dirimu. Selamat ya, Haeya, akhirnya kau berhasil menembus Seoul FC” ujar Lee Hyuk Jae, rekan Donghae di Kwon Sang FC sembari duduk dihadapannya. Donghaepun hanya tersenyum-senyum simpul mendengarnya.
“Ayolah, langsung saja kau tandatangani, kau mau berpikir apalagi, Haeya? Mmm…apa kau masih memikirkan orangtuamu yang tak menyetujui keinginanmu untuk menjadi pemain sepakbola profesional?” tanya Hyuk Jae serius.
“Itu salah satu yang sedang kupikirkan, hyung. Kau kan tahu bagaimana orangtuaku. Selama ini, aku main sepakbola secara sembunyi-sembunyi. Apalagi kan kita bermain di liga amatir yang kompetisinya fleksibel. Kalau aku bermain di Seoul FC, tentunya aku tak bisa menyembunyikannya lagi” ujar Donghae sambil menundukkan kepala.
Donghae memang sedang mengalami dilema. Selain
perasaan gembira karena impiannya menjad kenyataan, di sisi lain Donghae terkendala masalah restu orangtuanya yang tak menginginkan dia menjadi pemain sepakbola. Bahkan, ayahnya terang-terangan menentang keinginannya itu dan menganjurkannya untuk menjadi pegawai kantor saja seperti dirinya. Donghaepun dipaksa untuk mengambil kuliah jurusan manajemen di Dongguk University yang ditempuhnya dengan setengah hati. Walau akhirnya lulus dengan nilai yang lumayan baik, tapi Donghae masih saja tak melupakan keinginannya untuk menjadi pemain sepakbola. Sembari masuk kuliah, Donghae juga menyempatkan diri untuk bermain di liga amatir hingga akhirnya tawaran kontrak Seoul FC itu datang kepadanya. Sekarang, Donghae harus memutuskan masa depannya disini.
“Haeya, apapun keputusanmu, aku akan mendukungnya. Baik kau akhirnya memilih untuk menjadi pemain sepakbola ataupun bekerja di kantor, sebagai teman aku akan mendoakan yang terbaik.” Ujar Hyuk Jae seraya menepuk pundak Donghae untuk memberinya semangat.
“Terima kasih, hyung. Kau memang teman yang terbaik” ujar Donghae kembali tersenyum.
Tiba-tiba, deringan telepon membuncah kesunyian. Donghae melirik screennya dan mendapati tulisan Nika Eomma berkedip-kedip. Dengan hati sedikit bingung, Donghaepun segera mengangkat telepon itu karena tak biasanya ibu Shim Nika, kekasihnya meneleponnya.
“Yoboseyo, ada apa, bu? Oh, saya sedang dirumah. Apa??? Nika kecelakaan? Dimana bu? Rumah sakit Seoul? Baiklah, saya akan segera kesana” ujar Donghae yang segera menutup telepon dengan muka panik.
“Ada apa, Haeya? Ada apa dengan Nika?” tanya Hyuk Jae penasaran.
“Nika..Nika kecelakaan, Hyung. Katanya parah. Aku harus segera kesana, Hyung” ujar Donghae seraya menyambar jaketnya dan membuka pintu.
*****
Donghae menekan angka 9 pada lift dengan hari galau. Pikirannya semua tertuju pada Shim Nika yang entah bagaimana kondisinya sekarang ini. Terbayang olehnya, gadis itu masih ceria saat mereka sarapan bersama sebelum Nika berangkat bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi masalah sosial. Masih terngiang olehnya, suara Nika yang bersemangat menceritakan kasus penjualan organ tubuh yang sedang ditanganinya saat itu. Nika benar-benar mengutuk hal itu, bahkan dia berniat tak akan mundur sedikitpun walau sudah ada beberapa teror yang diterimanya terkait dengan masalah itu. Gadis yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun itu memang benar-benar hebat. Donghae begitu bangga atas semangat menolong sesamanya yang kuat. Bahkan dia jatuh cinta pada Nika karena hal itu. See karang, gadis bersemangat itu terbaring sakit. Hati Donghae luluh lantak bila mengingatnya.
Donghae tersadar dari lamunannya saat pintu lift terbuka di lantai 3, seorang gadis cantik berwajah sendu melangkah masuk diiringi oleh dua orang asistennya. Asisten yang perempuan terlihat langsung memeluk tubuh gadis itu, yang saat ini mulai mengisak. Sementara yang laki-laki memandangnya dengan tatapan prihatin.
“Sabar ya, nona. Tuan Komisaris akan baik-baik saja.” ujar sang asisten perempuan sembari menyeka airmata gadis itu.
“Iya nona, jangan terlampau berat memikirkan Tuan Shin, nanti nona bisa sakit” timpal sang asisten laki-laki.
“Sudahlah. Kalian memang tak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Diam sajalah!” ujar sang gadis dengan suara gemetaran.
“Maafkan kami, nona” ujar si asisten perempuan sembari mengangsurkan tissue yang langsung disambar oleh sang nona muda. Kelihatannya, dia sangat terpukul sekali.
Donghae yang berdiri dipojok lift hanya diam saja mendengarkan percakapan itu. Dari pintu kaca lift, tak sengaja dia melihat emblem perusahaan yang tercetak di bagian atas saku kemeja kedua asisten itu, yakni SD Corp. Sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan dan energi. SD Corp. juga baru saja mengakuisisi Seoul FC, kurang lebih setahun yang lalu. Sekarang, saham Seoul FC diuasai sepenuhnya oleh perusahaan tersebut. Jika menilik percakapan tadi, maka tak pelak lagi, yang sedang mereka bicarakan adalah Komisaris Shin Dong, taipan kaya raya pemilik perusahaan tersebut dan gadis itu tentunya adalah putrinya. Donghae menghela nafas, orang sekaya itu bisa sakit juga, padahal tentunya makanan dan pola hidupnya terjaga dengan baik. Ironis memang. Pikirannya langsung beralih lagi ke Shim Nika ketika pintu lift membuka di lantai 9.
“Imo, bagaimana, Nika?”tanya Donghae kepada ibu Shim Nika yang duduk di depan ruang perawatan intensif. Melihat Donghae, seketika airmata wanita tua itu langsung mengalir deras.
“Aigoo, Haeya. Nika masih belum sadar sedari kecelakaan tadi. Dokter masih memeriksa di dalam. Aigoo….Nika, kenapa nasibmu seperti ini, nak. Huhuhu….”
Sesaat kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan diiringi oleh susternya. Ketika melihat mereka berdua, dokter meminta keduanya untuk ikut ke kantor guna mendengarkan diagnosanya.
“Saat ini kondisi nona Shim Nika masih kritis. Dia mendetita gegar otak sedang dikepalanya akibat beturan. Juga terdapat retak di tulang bahu dan lengannya. Tapi yang paling berbahaya adalah adanya cairan yang ada di otaknya akibat benturan itu. Dia harus segera dioperasi dalam waktu 1x 24 jam, jika tidak, mungkin nyawanya tidak akan tertolong” ujar sang dokter panjang lebar.
“Separah itukah kondisi Nika, dokter? Lalu berapa persen harapan hidupnya jika dioperasi?” tanya Donghae dengan mimik serius.
            “ Kami tidak bisa memprediksi seberapa besar nilai pastinya, tapi sekitar 50%. Cairannya begitu banyak dan mungkin sudah mengganggu kinerja otaknya. Kita baru bisa melihat seberapa parah otaknya terganggu ketika dia sadar nanti.”
“Aigoo, Haeya. Eotokke?? “ ujar ibu Nika sembari terisak. Donghaepun berusaha menenangkannya.
“Oh ya, jika anda menginginkan operasi pada nona Shim Nika. Nanti silakan mengikuti prosedur yang ada. Karena operasi ini adalah operasi besar, dan rumah sakit kami terkendala jumlah dokter ahli yang bisa menangani operasi ini, kami meminta anda untuk menyediakan biaya operasi sejumlah satu juta won. Hal itu sudah termasuk biaya menyewa dokter dari rumah sakit lain, karena seperti yang telah saya bilang tadi, untuk beberapa waktu kedepan, jadwal dokter ahli bedah kami begitu padat. Kami harap, anda bisa menghubungi bagian administrasi sebelum waktu tenggangnya lewat katena jiwa nona Shim Nika bisa tak tertolong jika terlewat waktu tersebut.”ujar sang dokter kalem.
Satu juta won untuk operasi Nika dan itu bukanlah jumlah yang sedikit. Ibu Nika langsung lemas mendengarnya. Sebagai seorang pedagang teokbokki dengan penghasilan yang tak menentu, uang sebesar itu begitu tak terjangkau dan Donghae tahu hal itu. Donghae sendiri merasa gelisah, karena dia juga tak memiliki uang sebanyak itu.
“Eotokke, Haeya. Banyak sekali biaya operasinya. Ibu sama sekali tidak punya uang. Seminggu ini, ibu sakit jadi tak bisa berjualan. Tabungan Nika juga sudah habis untuk berobat. Bagaimana sekarang, Haeya…bagaimana kalau sudah sampai tenggat waktunya dan kita tidak mendapatkan uang sejumlah itu. Huhuhu…..Nika…..anakku..kenapa nasibmu jadi seperti ini, nak.huhuhu….”
“Tenanglah, imo. Aku akan mencari cara untuk mendapatkan uang itu. Imo tak perlu khawatir.” Ujar Donghae terlihat tenang, walau hal itu sangat bertentangan dengan hatinya.
Donghae sebenarnya juga bingung akan mencari uang sebanyak itu kemana. Jika dia ingin meminjam kepada teman-temannya, Donghae yakin mereka juga tidak punya uang sebesar itu. Apalagi kebanyakan teman-teman Donghae bukan dari golongan berada. Alih-alih meminjamkan uang, untuk kehidupan sehari-haripun mereka masih pas-pasan. Jika dia ingin meminjam uang orangtuanya, Donghae tahu mereka baru saja melunasi hutang pamannya yang terjerat rentenir akibat usahanya yang gagal total. Pamannya diancam akan dimasukkan ke dalam penjara jka tak segera melunasi hutang, maka dengan berat hati orangtua Donghae merelakan mobil mereka satu-satunya untuk dijual dan menggadaikan sertifikat rumah untuk menutup hutang tersebut. Tentunya, Donghae tak tega bila harus meminjam uang kepada mereka.
Tinggal satu kesempatan Donghae, Seoul FC. Donghae sadar bahwa dia hanya pemain amatir yang kebetulan akan dikontrak Seoul FC dengan harga transfer yang tidak besar. Dalam satu musim kompetisi saja dia hanya digaji sebesar tiga ratus lima puluh ribu won saja. Angka yang begitu kecil untuk klub sekelas Seoul FC. Walaupun begitu, Donghae merasa dia sudah tidak punya tempat lain untuk dituju dan mungkin pihak Seoul FC mau berbaik hati meminjamkannya uang sebesar satu juta won. Donghae pun siap dengan konsekuensi dia harus bermain selama tiga musim tanpa digaji jika memang mereka mau membantu menyediakan dana operasi Shim Nika tersebut. Dengan langkah tegar, Donghaepun memasuki kantor Seoul FC yang berdiri dengan angkuhnya.
*********
Manajer keuangan Seoul FC, Cho Kyuhyun sedang asyik menelepon ketika Donghae melangkah masuk ke kantornya yang terbuka lebar pintunya. Sang manajer memang terkenal narsis yang selalu butuh untuk show up di depan umum, makanya dia selalu membuka lebar-lebar pintu kantornya agar semua orang dapat melihat apa yang sedang dia kerjakan di dalam ruangannya tanpa harus meminta ijin. Dia sangat suka akan sanjungan dan berusaha untuk tampil keren setiap saat. Tapi orang ini juga tipikal oportunis sejati  yang selalu memikirkan keuntungan bagi dirinya jika mengambil sebuah keputusan. Tentunya, dia tak akan mengambil pilihan yang membuatnya rugi. Kepada orang tersebut, Donghae menghadap untuk mengutarakan niatnya.
“Selamat sore, Tuan Cho. Saya Lee Donghae. Saya ingin membicarakan suatu hal” ujar Donghae mencoba untuk menyapa pria berkepala klimis dihadapannya dangan ramah.
Sang manajer hanya melirik Donghae sekilas, memberi isyarat kepada Donghae untuk duduk dihadapannya, lalu melanjutkan kembali percakapannya ditelepon tadi yang agak terganggu oleh kehadiran Donghae. Donghaepun menghela nafas dalam-dalam sembari menunggu sang manajer menyelesaikan percakapannya. Setengah jam berlalu, sang manajer masih saja asyik menelepon. Donghae sudah gelisah setengah mati di kursinya yang mulai terasa panas. Waktu tenggat operasi Nika semakin menipis dan Donghae masih belum memiliki kesempatan untuk mengutarakan keinginannya kepada manajer Cho. Donghaepun berusaha menyabarkan diri ditengah riuh obrolan sang manajer dengan entah siapa itu karena dia tahu, sedikit saja kesalahan maka uang itu tak akan didapatnya dan akan sia-sia saja waktunya menunggu ini terbuang.
Akhirnya, sang manajer menutup telponnya juga setelah empat puluh lima menit. Dengan mata elangnya, manajer Cho menatap Donghae dengan pandangan menyelidik.
“Siapa kau dan apa maumu?” tanya manajer Cho tanpa basa-basi yang membuat Donghae sekali lagi harus menyebutkan namanya.
“Nama saya Lee Donghae. Saya adalah pemain yang akan dikontrak oleh Seoul FC, manajer”
“Pemain baru ya? Hmm..soalnya musim ini kami banyak sekali mendatangkan pemain baru, jadi tidak hafal satu-persatu.” Ujar manajer Cho sambil menyalakan cerutunya. Jelas-jelas ruangannya itu berAC, tapi tetap saja dia merokok. Donghae hanya bisa mndesah dalam hati.
“Saya pemain baru dari Kwon Sang FC, manajer. Saya adalah scout dari tuan Kim.Mmmm…kedatangan saya kesini untuk memohon sesuatu kepada anda, manajer.” ujar Donghae berketetapan hati.
“Oh..ya..ya…Kwon Sang FC. Katanya tuan Kim menemukan seorang pemain berbakat dari sana. Kaukah itu? Lalu apa yang kau inginkan, anak muda?”
“Saya sebenarnya belum menandatangani kontrak karena penyerahan berkas kontraknya akan dilakukan dua hari lagi. Maka dari itu hari ini saya memohon kepada anda. Semoga anda dapat mengabulkan permintaan saya, manajer. Tadi pagi, teman saya kecelakaan dan dokter memvonis usianya tak akan lama jika tidak segera dioperasi. Masalahnya, dokter meminta biaya operasi itu dibayarkan dimuka. Keluarganya adalah orang yang tidak mampu, manajer dan mereka sangat keberatan untuk membayar biaya sebesar seratus lima puluh ribu won. Maka dari itu, manajer. Saya meminta kemurahan hati anda untuk memberikan pinjaman sebesar satu juta won. Saya bersedia bermain tanpa dibayar untuk melunasinya, manajer.” ujar Donghae panjang lebar seraya berharap-harap cemas, sang manajer sudi membantunya.
Manajer Cho menatap Lee Donghae dengan tatapan tajam, kemudian mengalihkan pandangannya pada Ipad yang kini dipegangnya. Tak lama kemudian, tangannya sibuk mengutak-atik  layarnya.
“Kamu tadi bilang akan meminjam uang sebesar satu juta won? Hmm…padahal disini tertulis kontrakmu hanya sebesar tiga ratus lima puluh ribu won semusim. Berarti jika aku membayarmu satu juta won di muka, kau akan bermain disini tanpa digaji selama tiga musim, begitu?”
Doghae mengangguk mengiyakan.
“Hmm…anak muda, apa kau pernah ikut timnas atau klubmu pernah menjadi juara piala Champion Asia, misalnya?” tanya manajer Cho tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Ipadnya.
“Mwo? Saya belum pernah masuk timnas, manajer. Tapi saya bercita-cita….”
“Maka dari itu, kenapa berani-beraninya kau mencoba untuk meminta gaji di muka. Memangnya siapa kamu,heh? Pemain bintang? Pak Kim katanya menemukan pemain berbakat di Kwon Sang FC, tapi kan itu baru katanya dan belum bisa dibuktikan. Liga profesional berbeda jauh dengan liga amatir, anak muda. Tentunya kau menyadari hal itu. Mau bermain tiga musim,katamu..hah….semusim saja kau mungkin sudah ditendang!” potong manajer Cho sinis.
“Saya akan berusaha bermain dengan baik sepanjang tiga musim itu, manajer. Saya berjanji. Jadi saya mohon….” Ujar Donghae dengan tampang memelas.
“Andew! Janji dan usahamu belum cukup untuk membuatu terkesan. Sekarang, lebih baik kau pergi saja. Kau akan banyak menyita waktuku bila terus berada disini” ujar manajer Cho ketus.
Tiba-tiba, Donghae berlutut di lantai. Dengan suara gemeteran, dia mencoba untuk memohon kepada sang manajer.
“Tuan manajer, saya benar-benar memohon pada anda. Teman saya sangat membutuhkan operasi itu, jika tidak, dia akan meninggal dunia. Tuan manajer, saya benar-benar memohon pada anda kali ini”
“Benar-benar tak tahu diuntung! Aku bilang tidak, ya TIDAK. Sekarang keluar dari kantorku, KELUAR!” ujar manajer Cho dengan geram penuh kemurkaan.
*********
Donghae duduk di bangku taman rumah sakit dengan lunglai. Matanya memandang ke arah bangunan rumah sakit berlantai lima belas itu dengan tatapan menerawang. Hatinya benar-benar sedih sekarang. Bahkan, dia tak berani untuk masuk dan bertatap muka dengan ibu Nika. Baginya, seolah semua pintu tertutup. Tak ada kesempatan lagi untuk mendapatkan uang bagi operasi Shim Nika, berarti harapan hidup gadis itu berada di ujung tanduk. Tak sanggup rasanya bagi Donghae bila mengingat tenggat waktunya yang semakin menipis.
Perutnya sudah mulai protes minta diisi karena sedari siang tadi, dia belum makan apapun tetapi Donghae sudah tak berminat untuk makan. Hatinya terus memaksa pikirannya untuk mencari-cari cara mendapatkan uang, tapi lagi-lagi terbentur jalan buntu. Terkadang terbersit keinginan Donghae untuk mencuri atau merampok, untungnya akal sehatnya masih bisa berpikiran jernih.
Tiba-tiba, suara tangis mengisak memaksa Donghae sadar dari keruwetan pikirannya sendiri. Donghae menoleh ke arah sumber suara, yang ternyata seorang gadis. Dia duduk tepat di belakangnya. Sedari duduk tadi, Donghae tak menyadari bahwa dia dan gadis itu duduk saling memunggungi karena memang, bangku taman itu dirancang berbeda arah hadapnya.
“Nona, kau baik-baik saja?” sapa Donghae ketika dia melihat keadaan gadis itu jauh terlihat lebih parah dari dirinya.
“Gomawo” ujar gadis itu dengan gemetar.
Donghae menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya kepada gadis itu agar lebih jelas. Sepertinya dia pernah melihatnya. Setelah beberapa saat, Donghae menadari bahwa gadis itu adalah orang yang sama yang ditemuina di lift tadi siang. Putri pemilik Seoul FC, komisaris Shin Dong.
“Nona, kenapa kau disini sendirian? Kemana para asistenmu?” tanya Donghae lagi.
“Kenapa kau tahu tentang para asistenku?” tanya Shin Yuri, gadis itu dengan tatapan curiga.
“Jangan salah paham dahulu. Tadi siang, aku satu lift denganmu saat menuju lantai sembilan. Kulihat kau bersama dua orang asisten waktu itu” ujar Donghae mencoba menjelaskan.
“Aku ingin sendirian saja saat ini, makanya aku menyuruh mereka untuk tidak mengikutiku. Hmm…hari ini benar-benar sangat berat untukku”ujar Yuri sambil menyeka airmatanya.
“Sepertinya kita sama-sama mengalami hari yang berat, nona.Akupun tak tahu lagi apa yang mesti kulakukan” desah Donghae.
“Terkadang hidup itu mempermainkan manusia dengan seenaknya. Adakalanya, dia meberikan kita bonus besar berupa tawa yang terbahak-bahak, hingga kita merasa bahwa tak akan ada lagi hari esok. Tapi disuatu waktu, dia memeras tawa -tawa itu menjadi butir-butir air mata yang membuat kita berpikir untuk menyilet pergelangan tangan atau minum racun agar tak menjaadi gila dari sebelumnya”
“Indah sekali perumpamaanmu, nona. Tapi kehidupan tak hanya butuh sekedar kata-kata indah. Kau pasti tahu hal itu”
“Aku tahu. Cuma sekarang, aku hanya ingin menjaga pikiranku agar tetap jernih saja. Aku tak ingin berakhir dengan nadi terpotong atau mulut berbusa. Huh…mungkin kedengarannya melantur ya, tapi dengan kondisi ibuku yang belum sembuh dari kanker payudaranya setelah kemoterapi keempat yang dijalaninya tiga hari yang lalu ditambah dengan ayahku yang terkena gagal ginjal hari ini, tentu aku harus terus berpikir waras” ujar gadis itu seraya tersenyum sedih.
“Jadi kedua orangtuamu berada dirawat di rumah sakit sekarang?”
“Ne. Ibuku sudah sebulan dirawat disini, sedangkan ayahku baru tadi pagi. Saat dikabari bahwa ayah masuk rumah sakit, aku masih berada di Busan. Aku menyetir seperti orang gila untuk sampai kemari.Sebenarnya, ayahku memang sudah mengindap ginjal cukup lama. Dia sedang masuk daftar tunggu untuk operasi cangkok ginjalnya. Sayangnya, sebelum hal itu terwujud, ayahku keburu sakit sedangkan dia belum mendapatkan donor sama sekali. Kamu tahulah, donor ginjal kan tidak mudah. Sekarang, dengan kondisi ayahku yang seperti ini, aku harus mencari donor secepatnya, karena dokter memvonis bahwa ayahku tak akan selamat bila tidak bisa dioperasi dalam waktu 2 x 24 jam. Hmff….Aku benar-benar rela memberikan apapun asal ayahku bisa selamat.” ujar gadis itu dengan mata menerawang. Oh ya, siapa yang kau tunggui di rumah sakit?” lanjutnya bertanya kepada Donghae.
“Kekasihku. Dia kecelakaan tadi pagi. “ jawab Donghae singkat.
“Bagaimana kondisinya?”
“Masih kritis. Dia belum sadar sejak kecelakaan itu.”


Pikiran Donghae kembali lagi pada Nika yang masih terbaring tak sadarkan diri dan uang sebesar satu juta won yang harus dikumpulkannya. Mendadak, terbersit sebuah pikiran dalam kepala Donghae.Mungkin pemikiran itu amat tak lazim, tapi Donghae merasa semua jalan sudah buntu untuknya.
“Nona, bagaimana jika aku memberikan sebuah penawaran padamu?” ujar Donghae seraya mendesah panjang.
Yuri memandang Donghae tak mengerti.
“Maksudku,bagaimana jika aku bisa mendapatkan seorang donor untuk ayahmu? Apakah kau mau memberikan apa yang aku minta?” ujar Donghae dengan pandangan serius.
“Mwo? Donor ginjal? Darimana kau akan mendapatkannya? Lalu kau meminta imbalan apa?” tanya Yuri terkejut.
“Aku ingin uang sebesar satu juta won sebagai imbalannya. Bagaimana? Jika memang pendonor itu cocok ginjalnya, kau bisa segera mengoperasi ayahmu”
“Satu juta won? Aku rasa aku bisa menyediakannya. Tapi siapa yang akan jadi pendonornya? Kau tak bercanda kan?” tanya Yuri dengan mimik tak percaya.
“Saat ini bukan waktunya untuk bercanda, nona. Yang jelas, jika memang kau bersedia, sekarang juga mari kita melakukan pengecekan ke rumah sakit. Kalau memang ginjalnya cocok, kau bisa segera menyerahkan uangnya padaku”
“Mwo? Ja..jadi…pendonor itu adalah kau? Benar-benar kau?”
“Ne. Aku yang akan menjadi pendonor ayahmu” ujar Donghae mantap.
*******
Donghae memandang kedua lembar kertas yang telah ditandatangani yang berada ditangannya dengan gamang. Ditangan kirinya ada kontrak dengan Seoul FC, sedangkan ditangan kanannya ada perjanjian pendonoran organ untuk komisaris Shin. Donghae harus segera memutuskan mana yang dia pilih. Jika dia memilih kertas ditangan kiri, tetu jiwa Nika tak akan tertolong. Tapi sebaliknya, jika Donghae memilih yang sebelah kanan, impian yang dibangunnya selama bertahun-tahun akan runtuh dalam sekejap saja. Juga ada satu masalah lain yang menyita pikiran Donghae. Selama ini Shim Nika bekerja di LSM dan sedang mengurusi kasus tentang penjualan organ. Begitu ironis sebenarnya jika operasi gadis itu akhirnya berkaitan erat dengan kasus yang mati-matian dia tentang. Donghae ingat ketika mereka sarapan di pagi itu, Nika dengan semangatnya yang berkobar-kobar, mengutuk segala perbuatan penjualan organ manusia dan berjanji dengan sepenuh hati bahwa dia akan menumpasnya sampai ke akarnya. Bila mengingat hal itu, Donghae merasa dia sudah menipu diri sendiri dan Nika. Tapi sayangnya, dia tak punya pilihan yang lebih baik sekarang.
Dengan pikiran kacau, ditekannya sebuah nomor yang sudah dihafalkannya di luar kepala. Terdengar nada sambung tiga kali kemudian telepon itu diangkat oleh seseorang di seberang.
“Yoboseyo” ujar seseorang dengan suara yang begitu familiar bagi Donghae.
“Yoboseyo, appa. Maaf, aku pagi-pagi meneleponmu” ujar Donghae dengan suara tercekat.
“Oh, Haeya. Ada apa? Tak biasanya kau menelepon sepagi ini. Eommamu sedang tidak ada. Dia pergi ke pasar pagi-pagi sekali.”
“Aku ingin berbicara sesuatu pada appa. Oh ya, tolong jangan bilang apa-apa pada eomma. Aku tidak ingin dia khawatir”
“Memangnya ada apa, Haeya? Kau tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum kan?” tanya Appa Donghae penasaran.
“Aniyo, appa. Sebelumnya, aku mau mengaku dahulu. Appa kan selama ini selalu menyuruhku untuk bekerja di kantor dan meninggalkan sepakbola. Appa pun memasukkanku untuk kuliah ke jurusan manajemen dan bukan olahraga. Aku sih menurut saja, walalu sebenarnya disamping aku kuliah disana, aku juga diam-diam bermain sepakbola di liga amatir, appa. Maaf selama ini aku seperti membohongimu, tapi menjadi pemain sepakbola adalah cita-citaku semenjak kecil dan aku ingin sekali mewujudkannya.” Jelas Donghae dengan suara bergetar.
“Benarkah, Haeya? Selama ini kau bermain sepakbola tanpa sepengetahuan appamu ini? Kenapa kau lakukan ini, anakku? Padahal jika kau berkata padaku bahwa kaku berkeinginan kuat untuk menjadi pemain sepakbola, appamu ini akan mendukungmu, Haeya.”
Airmata Donghae menetes begitu mendengar perkataan ayahnya barusan. Ternyata ayahnya tak sekeras apa yang dipikirkannya.
“Mianhanda. Aku benar-benar tidak tahu jika appa…..ah, sudahlah. Oh ya, sekarang ini datang tawaran kontrak dari Seoul FC kepadaku, appa. Nah, dari situ ada yang ingin aku katakan pada appa”
“Omo…Seoul FC, Haeya?! Wah, selamat ya, akhirnya kau bisa bermain disana juga. Appamu ini benar-benar bangga padamu. “
“Khamsahamnida, appa. Tapi, ada sesuatu hal. Mungkin terdengar tidak logis, tapi aku berencana untuk tidak mengambil kontrak itu. Aku tidak akan bermain sepakbola lagi, appa.” Ujar Donghae dengan suara tercekat. Debaran hebat serasa memalu-malu dadanya.
“Mwo? Kenapa, Haeya? Apakah kau menerima tawaran dari klub lain?” tanya ayahnya penuh tanya.
“Aniyo. Aku….aku berencana untuk mendonorkan ginjalku pada seseorang. Karena itu aku tak akan bisa bermain sepakbola lagi, appa. Mianhanda” ujar Donghae dengan suara bergetar. Tanpa terasa airmatanya menetes di pipinya. Perasaannya remuk redam sekarang.
“Mwo? Apa aku tidak salah dengar, Haeya? Kau akan mendonorkan ginjalmu? Waeyo? Kenapa kau lakukan hal seperti itu? Apa kau sudah tidak puna akal sehat, heh?” suara appanya terdengar gamang di seberang. Airmata Donghae semakin deras mengalir.
“Itu keputusanku, appa. Mungkin memang tidak masuk akal, tapi aku benar-benar harus melakukannya untuk menolong seseorang, appa. Aku harap appa bisa mengerti keputusanku ini. Mianhanda, aku memang anak yang selalu menyusahkan. Tapi sekali lagi, aku harus melakukannya, appa”
“Huh…baiklah, Haeya” ujar ayah Donghae sambil mendesah. “ Mungkin buat appa, kedengarannya memang tak masuk akal. Tapi appa percaya, apapun itu, kau pasti telah memikirkannya masak-masak. Appa akan selalu mendukungmu, nak, apapun keputusanmu. Appa cuma bisa berpesan satu hal, Haeya. Kau adalah seorang laki-laki dan sebagai seorang laki-laki, pantang bagimu untuk menyesali apa yang telah kau putuskan. Dalam hidup ini tak ada jalan mundur, Haeya, yang ada adalah terus melangkah, seterjal dan segelap apapun jalan itu. Terus ingatlah, walau jalanan yang kau lalui gelap dan berbatu tajam, masih ada orang-orang yang mengasihimu dan Tuhan yang selalu menjagamu. Maka, jangan sekalipun menyerah, anakku.” lanjut ayah Donghae Dengan suara tegas. Mendengarnya, serasa ada setetes embun dingin yang menyentuh hari Donghae yang kerontang, membuatnya menjadi damai dalam sekejap.
“Appa, khamsahamnida. Aku menyayangimu.” Ujar Donghae disela-sela isaknya.
“Appa juga sangat menyayangimu, Haeya. Jaga dirimu baik-baik. Jika sudah selesai, kirim kabar ya, nak.” Ujar ayah Donghae dengan suara bergetar di seberang sana. Donghae berasumsi beliau juga menangis.
“Ne, appa. Nanti aku kabari lagi” ujar Donghae seraya menutup telepon. Kali ini hatinya telah mantap untuk mendonorkan ginjalnya. Walau dia tahu ayahnya saat ini mungkin sedang bersedih, tapi percakapannya tadi telah membuatnya yakin atas keputusannya. Donghae segera meremas lembar kontrak ditangan kirinya dan membuangnya ke tempat sampah.
Mendadak pintu ruang pasien terbuka dan masuklah Shin Yuri beserta asistennya. Gadis itu  segera menghampiri Donghae yang sedang berbaring di atas ranjang.
“Aku sudah melakukan apa yang kau minta. Aku sudah bertemu dengan ibu dari kekasihmu dan mengatakan telah membayari seluruh biaya operasi. Seperti katamu, aku sama sekali tidak menyinggungmu dan mengatakan bahwa yang membiayai seluruh operasi itu adalah seorang donatur yang tidak mau disebutkan namanya. Operasinya akan berlangsung pada waktu yang sama denganmu, tapi berbeda lantai. “ jelas Yuri kepada Donghae.
Donghae menjawabnya dengan mengangguk-angguk.
“Baiklah, apa kau sudah siap? Operasinya akan berlangsung sejam lagi. Sebentar lagi, kau akan dibawa ke ruang operasi.” tanya Yuri.
“Gomawo nona atas semuanya. Ne, aku sudah siap” jawab Donghae mantap.
“Panggil saja aku Yuri, tak perlu sungkan.” ujar Yuri sambil mencoba tersenyum manis.
“Baiklah, Yuri. Mungkin saja” jawab Donghae getir.
****************
Lampu di ruang operasi di lantai 3 masih saja menyala setelah dua jam. Didalamnya, Donghae dan komisaris Shin Dong tengah dioperasi untuk pendonoran ginjalnya. Terlihat Shin Yuri berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan kalut.
Beberapa saat kemudian, Lampu padam dan pintu operasi akhirnya terbuka. Tubuh Donghae yang masih dalam pengaruh obat bius didorong keluar. Akhirnya, lunas sudah tugasnya hari ini. Ginjalnya sekarang hanya tertinggal sebuah saja dan mimpi sebagai pemain sepak bola telah lenyap seluruhnya. Tapi nyatanya, Donghae sama sekali tak menyesal dengan pilihannya. Yang penting, dia berusaha untuk menyelamatkan satu nyawa yang dikasihinya. Yang diinginkannya hanya satu saat terbangun nanti, yakni melihat senyum dari Shim Nika. Itu saja, tak lebih. Baginya, senyuman itu adalah hadiah terindahnya seumur hidup.
Donghae sama sekali tidak tahu bahwa disaat yang hampir bersamaan, pintu ruang operasi Shim Nika juga telah terbuka. Walaupun, sosok yang didorong keluar tidak tersenyum seperti keinginan Donghae, tapi telah terbaring tertutup oleh selimut diiringi jerit tangis ibunya yang memilukan. Shim Nika telah gagal diselamatkan.
**************
            Donghae memandang Nika yang terseyum manis dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Wajah itu masih saja tersenyum walau bunga aster putih yang dibawa Donghae seminggu yang lalu sudah mengering dan kelopaknya sebagian berguguran. Donghae segera menggantinya dengan bunga baru yang dibawanya. Sudah puluhan kali rutinitas itu dilakukannya. Paling lama sebulan sekali Donghae mengganti bunga itu, tapi dia lebih sering melakukannya seminggu sekali.
Nika kelihatan cantik seperti biasanya, walau sebenarnya aslinya jauh lebih cantik. Sekarang, gadis cantik itu berada didalam guci, tepat dibelakang fotonya yang tertempel di muka laci tempat abu disemayamkan. Dalam wasiatnya, Nika memang ingin di kremasikan.
Donghae tersenyum memandangi wajah dalam pigura itu. Upayanya yang gagal menyelamatkan nyawa gadis itu akhirnya membuatnya menarik kesimpulan akan kehidupan. Pandangannya mengenai hidup langsung berubah drastis seiring peristiwa itu. Kehidupan manusia memang tak bisa diprediksi. Seberapapun usaha manusia dengan angka-angka perkiraannya yang menurutnya mendekati sempurna, benar-benar akan hancur berantakan bila berhadapan dengan kehendak tuhan. Walaupun demikian, Donghae tak pernah menganggap pengorbanannya untuk menyelamatkan Nika adalah sebuah kesia-siaan. Tapi, dia merasa dengan melakukannya dia menjadi berkelimpahan hikmah yang luar biasa yakni kasih sayang dari orang-orang disekitarnya yang semula dikiranya tak peduli. Dengan pemikiran itulah, akhirnya Donghae bisa lebih mudah menerima kenyataan akan kepergian Nika.
“Kau ada disini, rupanya? Aku mencarimu ke rumah, tapi tidak ada.”
Suara seorang gadis membuyarkan lamunan. Donghae lalu menoleh ke asal suara dan mendapati Yuri sedang tersenyum padanya.
“Jadi ini Shim Nika itu? Cantik sekali. Dia adalah gadis yang sangat beruntung.” ujar Yuri sembari mendekat ke altar. “Maaf, Nika. Baru kali ini aku mengunjungi”lanjutnya kemudian.
“Sebenarnya bukan dia yang beruntung, tapi aku. Aku sangat beruntung  mendapat kesempatan untuk mengenalnya” ujar Donghae seraya menatap kembali foto Nika.
“Aku juga beruntung bisa mengenalmu” ujar Yuri sembari tersipu. “Oh ya, kau sudah menerima surat dari Seoul FC? Jika kau mau, minggu depan kau sudah bisa masuk kerja.” lanjutnya.
“Kenapa kau ingin aku bekerja disana?”
“Selalu ada tempat untuk orang yang berbakat. Walau tidak bermain bola, setidaknya kau bisa menjadi pemandu bakat kali atau pelatih tim junior. Kami selalu berusaha untuk berinvestasi pada orang-orang yang tepat dan menurutku, kau cukup berbakat” ujar Yuri diplomatis sembari tersenyum. “Dan diatas semua itu, kami sangat membutuhkanmu disana karena kau terbukti adalah orang yang baik. Tentunya sangat sulit menemukan manusia jenis itu sekarang" lanjutnya tanpa lekang terseyum manis.
“Akan aku pikirkan tawaranmu, kita lihat saja minggu depan.” Ujar Donghae seraya membalas senyuman Yuri.
“Aku tidak tahu detail peristiwa yang merenggut nyawanya, maukah kau menceritakannya padaku, Haeya?”pinta Yuri.
Donghae menghela nafas panjang, memandang wajah Yuri dengan serius, kemudian menjawab.
“Aku tak akan menceritakan bagaimana dia tewas, tapi aku akan bercerita bagaimana dia menjalani hidupnya. Mari kita pergi, Yuri.” Ujar Donghae seraya menarik tangan Yuri. Keduanya pun meninggalkan gedung abu kremasi itu dengan tenang..

*** THE END**

No comments:

Post a Comment