MY SACRIFICE
Like a melody of
the morning breeze after the night’s storm,
Like a warm
shine of the sun after the rain,
Every human
wants a happy ending,
Though life
often offers the different choice
and it cost a
lot of sacrifice
Lee Donghae lekat menatap formulir kontak
ditangannya dengan pandangan bahagia. Akhirnya, kerja kerasnya selama ini
terbayar sudah. Penantiannya selama bertahun-tahun yang diselingi banyak
keringat dan air mata tak menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Seoul FC, klub
yang diidam-idamkannya selama ini akhirnya menemukan bakatnya dan berniat untuk
mengontraknya untuk memperkuat kesebelasan itu di liga utama negeri ini. Tak
ada yang lebih membanggakan dari pemain amatir seperti dirinya kecuali naik
level menjadi pemain profesional, apalagi debutnya kali ini langsung di sebuah
klub papan atas Korea. Benar-benar sebuah dream
come true untuk Donghae.
“Aigoo…sepertinya gembira sekali dirimu. Selamat ya,
Haeya, akhirnya kau berhasil menembus Seoul FC” ujar Lee Hyuk Jae, rekan Donghae
di Kwon Sang FC sembari duduk dihadapannya. Donghaepun hanya tersenyum-senyum
simpul mendengarnya.
“Ayolah, langsung saja kau tandatangani, kau mau
berpikir apalagi, Haeya? Mmm…apa kau masih memikirkan orangtuamu yang tak
menyetujui keinginanmu untuk menjadi pemain sepakbola profesional?” tanya Hyuk
Jae serius.
“Itu salah satu yang sedang kupikirkan, hyung. Kau
kan tahu bagaimana orangtuaku. Selama ini, aku main sepakbola secara
sembunyi-sembunyi. Apalagi kan kita bermain di liga amatir yang kompetisinya
fleksibel. Kalau aku bermain di Seoul FC, tentunya aku tak bisa
menyembunyikannya lagi” ujar Donghae sambil menundukkan kepala.
Donghae memang sedang mengalami dilema. Selain
perasaan gembira karena impiannya menjad kenyataan, di sisi lain Donghae terkendala masalah restu orangtuanya yang tak menginginkan dia menjadi pemain sepakbola. Bahkan, ayahnya terang-terangan menentang keinginannya itu dan menganjurkannya untuk menjadi pegawai kantor saja seperti dirinya. Donghaepun dipaksa untuk mengambil kuliah jurusan manajemen di Dongguk University yang ditempuhnya dengan setengah hati. Walau akhirnya lulus dengan nilai yang lumayan baik, tapi Donghae masih saja tak melupakan keinginannya untuk menjadi pemain sepakbola. Sembari masuk kuliah, Donghae juga menyempatkan diri untuk bermain di liga amatir hingga akhirnya tawaran kontrak Seoul FC itu datang kepadanya. Sekarang, Donghae harus memutuskan masa depannya disini.
perasaan gembira karena impiannya menjad kenyataan, di sisi lain Donghae terkendala masalah restu orangtuanya yang tak menginginkan dia menjadi pemain sepakbola. Bahkan, ayahnya terang-terangan menentang keinginannya itu dan menganjurkannya untuk menjadi pegawai kantor saja seperti dirinya. Donghaepun dipaksa untuk mengambil kuliah jurusan manajemen di Dongguk University yang ditempuhnya dengan setengah hati. Walau akhirnya lulus dengan nilai yang lumayan baik, tapi Donghae masih saja tak melupakan keinginannya untuk menjadi pemain sepakbola. Sembari masuk kuliah, Donghae juga menyempatkan diri untuk bermain di liga amatir hingga akhirnya tawaran kontrak Seoul FC itu datang kepadanya. Sekarang, Donghae harus memutuskan masa depannya disini.
“Haeya, apapun keputusanmu, aku akan mendukungnya.
Baik kau akhirnya memilih untuk menjadi pemain sepakbola ataupun bekerja di
kantor, sebagai teman aku akan mendoakan yang terbaik.” Ujar Hyuk Jae seraya
menepuk pundak Donghae untuk memberinya semangat.
“Terima kasih, hyung. Kau memang teman yang terbaik”
ujar Donghae kembali tersenyum.
Tiba-tiba, deringan telepon membuncah kesunyian.
Donghae melirik screennya dan mendapati tulisan Nika Eomma berkedip-kedip.
Dengan hati sedikit bingung, Donghaepun segera mengangkat telepon itu karena
tak biasanya ibu Shim Nika, kekasihnya meneleponnya.
“Yoboseyo, ada apa, bu? Oh, saya sedang dirumah.
Apa??? Nika kecelakaan? Dimana bu? Rumah sakit Seoul? Baiklah, saya akan segera
kesana” ujar Donghae yang segera menutup telepon dengan muka panik.
“Ada apa, Haeya? Ada apa dengan Nika?” tanya Hyuk
Jae penasaran.
“Nika..Nika kecelakaan, Hyung. Katanya parah. Aku
harus segera kesana, Hyung” ujar Donghae seraya menyambar jaketnya dan membuka
pintu.
*****
Donghae menekan angka 9 pada lift dengan hari galau.
Pikirannya semua tertuju pada Shim Nika yang entah bagaimana kondisinya
sekarang ini. Terbayang olehnya, gadis itu masih ceria saat mereka sarapan
bersama sebelum Nika berangkat bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat
yang mengurusi masalah sosial. Masih terngiang olehnya, suara Nika yang
bersemangat menceritakan kasus penjualan organ tubuh yang sedang ditanganinya
saat itu. Nika benar-benar mengutuk hal itu, bahkan dia berniat tak akan mundur
sedikitpun walau sudah ada beberapa teror yang diterimanya terkait dengan
masalah itu. Gadis yang telah menjadi kekasihnya selama lima tahun itu memang
benar-benar hebat. Donghae begitu bangga atas semangat menolong sesamanya yang
kuat. Bahkan dia jatuh cinta pada Nika karena hal itu. See karang, gadis
bersemangat itu terbaring sakit. Hati Donghae luluh lantak bila mengingatnya.
Donghae tersadar dari lamunannya saat pintu lift
terbuka di lantai 3, seorang gadis cantik berwajah sendu melangkah masuk
diiringi oleh dua orang asistennya. Asisten yang perempuan terlihat langsung
memeluk tubuh gadis itu, yang saat ini mulai mengisak. Sementara yang laki-laki
memandangnya dengan tatapan prihatin.
“Sabar ya, nona. Tuan Komisaris akan baik-baik
saja.” ujar sang asisten perempuan sembari menyeka airmata gadis itu.
“Iya nona, jangan terlampau berat memikirkan Tuan
Shin, nanti nona bisa sakit” timpal sang asisten laki-laki.
“Sudahlah. Kalian memang tak tahu bagaimana
perasaanku saat ini. Diam sajalah!” ujar sang gadis dengan suara gemetaran.
“Maafkan kami, nona” ujar si asisten perempuan
sembari mengangsurkan tissue yang langsung disambar oleh sang nona muda.
Kelihatannya, dia sangat terpukul sekali.
Donghae yang berdiri dipojok lift hanya diam saja mendengarkan
percakapan itu. Dari pintu kaca lift, tak sengaja dia melihat emblem perusahaan
yang tercetak di bagian atas saku kemeja kedua asisten itu, yakni SD Corp.
Sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang pertambangan dan energi.
SD Corp. juga baru saja mengakuisisi Seoul FC, kurang lebih setahun yang lalu. Sekarang,
saham Seoul FC diuasai sepenuhnya oleh perusahaan tersebut. Jika menilik
percakapan tadi, maka tak pelak lagi, yang sedang mereka bicarakan adalah
Komisaris Shin Dong, taipan kaya raya pemilik perusahaan tersebut dan gadis itu
tentunya adalah putrinya. Donghae menghela nafas, orang sekaya itu bisa sakit
juga, padahal tentunya makanan dan pola hidupnya terjaga dengan baik. Ironis
memang. Pikirannya langsung beralih lagi ke Shim Nika ketika pintu lift membuka
di lantai 9.
“Imo, bagaimana, Nika?”tanya Donghae kepada ibu Shim
Nika yang duduk di depan ruang perawatan intensif. Melihat Donghae, seketika
airmata wanita tua itu langsung mengalir deras.
“Aigoo, Haeya. Nika masih belum sadar sedari
kecelakaan tadi. Dokter masih memeriksa di dalam. Aigoo….Nika, kenapa nasibmu
seperti ini, nak. Huhuhu….”
Sesaat kemudian, dokter keluar dari ruang perawatan
diiringi oleh susternya. Ketika melihat mereka berdua, dokter meminta keduanya
untuk ikut ke kantor guna mendengarkan diagnosanya.
“Saat ini kondisi nona Shim Nika masih kritis. Dia
mendetita gegar otak sedang dikepalanya akibat beturan. Juga terdapat retak di
tulang bahu dan lengannya. Tapi yang paling berbahaya adalah adanya cairan yang
ada di otaknya akibat benturan itu. Dia harus segera dioperasi dalam waktu 1x 24
jam, jika tidak, mungkin nyawanya tidak akan tertolong” ujar sang dokter
panjang lebar.
“Separah itukah kondisi Nika, dokter? Lalu berapa persen
harapan hidupnya jika dioperasi?” tanya Donghae dengan mimik serius.
“ Kami tidak bisa memprediksi
seberapa besar nilai pastinya, tapi sekitar 50%. Cairannya begitu banyak dan
mungkin sudah mengganggu kinerja otaknya. Kita baru bisa melihat seberapa parah
otaknya terganggu ketika dia sadar nanti.”
“Aigoo, Haeya. Eotokke?? “ ujar ibu Nika sembari
terisak. Donghaepun berusaha menenangkannya.
“Oh ya, jika anda menginginkan operasi pada nona
Shim Nika. Nanti silakan mengikuti prosedur yang ada. Karena operasi ini adalah
operasi besar, dan rumah sakit kami terkendala jumlah dokter ahli yang bisa
menangani operasi ini, kami meminta anda untuk menyediakan biaya operasi
sejumlah satu juta won. Hal itu sudah termasuk biaya menyewa dokter dari rumah
sakit lain, karena seperti yang telah saya bilang tadi, untuk beberapa waktu
kedepan, jadwal dokter ahli bedah kami begitu padat. Kami harap, anda bisa
menghubungi bagian administrasi sebelum waktu tenggangnya lewat katena jiwa
nona Shim Nika bisa tak tertolong jika terlewat waktu tersebut.”ujar sang
dokter kalem.
Satu juta won untuk operasi Nika dan itu bukanlah
jumlah yang sedikit. Ibu Nika langsung lemas mendengarnya. Sebagai seorang
pedagang teokbokki dengan penghasilan yang tak menentu, uang sebesar itu begitu
tak terjangkau dan Donghae tahu hal itu. Donghae sendiri merasa gelisah, karena
dia juga tak memiliki uang sebanyak itu.
“Eotokke, Haeya. Banyak sekali biaya operasinya. Ibu
sama sekali tidak punya uang. Seminggu ini, ibu sakit jadi tak bisa berjualan.
Tabungan Nika juga sudah habis untuk berobat. Bagaimana sekarang,
Haeya…bagaimana kalau sudah sampai tenggat waktunya dan kita tidak mendapatkan
uang sejumlah itu. Huhuhu…..Nika…..anakku..kenapa nasibmu jadi seperti ini,
nak.huhuhu….”
“Tenanglah, imo. Aku akan mencari cara untuk
mendapatkan uang itu. Imo tak perlu khawatir.” Ujar Donghae terlihat tenang,
walau hal itu sangat bertentangan dengan hatinya.
Donghae sebenarnya juga bingung akan mencari uang
sebanyak itu kemana. Jika dia ingin meminjam kepada teman-temannya, Donghae
yakin mereka juga tidak punya uang sebesar itu. Apalagi kebanyakan teman-teman
Donghae bukan dari golongan berada. Alih-alih meminjamkan uang, untuk kehidupan
sehari-haripun mereka masih pas-pasan. Jika dia ingin meminjam uang
orangtuanya, Donghae tahu mereka baru saja melunasi hutang pamannya yang
terjerat rentenir akibat usahanya yang gagal total. Pamannya diancam akan
dimasukkan ke dalam penjara jka tak segera melunasi hutang, maka dengan berat
hati orangtua Donghae merelakan mobil mereka satu-satunya untuk dijual dan
menggadaikan sertifikat rumah untuk menutup hutang tersebut. Tentunya, Donghae
tak tega bila harus meminjam uang kepada mereka.
Tinggal satu kesempatan Donghae, Seoul FC. Donghae
sadar bahwa dia hanya pemain amatir yang kebetulan akan dikontrak Seoul FC
dengan harga transfer yang tidak besar. Dalam satu musim kompetisi saja dia
hanya digaji sebesar tiga ratus lima puluh ribu won saja. Angka yang begitu
kecil untuk klub sekelas Seoul FC. Walaupun begitu, Donghae merasa dia sudah
tidak punya tempat lain untuk dituju dan mungkin pihak Seoul FC mau berbaik
hati meminjamkannya uang sebesar satu juta won. Donghae pun siap dengan
konsekuensi dia harus bermain selama tiga musim tanpa digaji jika memang mereka
mau membantu menyediakan dana operasi Shim Nika tersebut. Dengan langkah tegar,
Donghaepun memasuki kantor Seoul FC yang berdiri dengan angkuhnya.
*********
Manajer keuangan Seoul FC, Cho Kyuhyun sedang asyik menelepon
ketika Donghae melangkah masuk ke kantornya yang terbuka lebar pintunya. Sang manajer
memang terkenal narsis yang selalu butuh untuk show up di depan umum, makanya
dia selalu membuka lebar-lebar pintu kantornya agar semua orang dapat melihat
apa yang sedang dia kerjakan di dalam ruangannya tanpa harus meminta ijin. Dia
sangat suka akan sanjungan dan berusaha untuk tampil keren setiap saat. Tapi
orang ini juga tipikal oportunis sejati
yang selalu memikirkan keuntungan bagi dirinya jika mengambil sebuah
keputusan. Tentunya, dia tak akan mengambil pilihan yang membuatnya rugi. Kepada
orang tersebut, Donghae menghadap untuk mengutarakan niatnya.
“Selamat sore, Tuan Cho. Saya Lee Donghae. Saya
ingin membicarakan suatu hal” ujar Donghae mencoba untuk menyapa pria berkepala
klimis dihadapannya dangan ramah.
Sang manajer hanya melirik Donghae sekilas, memberi
isyarat kepada Donghae untuk duduk dihadapannya, lalu melanjutkan kembali
percakapannya ditelepon tadi yang agak terganggu oleh kehadiran Donghae.
Donghaepun menghela nafas dalam-dalam sembari menunggu sang manajer
menyelesaikan percakapannya. Setengah jam berlalu, sang manajer masih saja
asyik menelepon. Donghae sudah gelisah setengah mati di kursinya yang mulai
terasa panas. Waktu tenggat operasi Nika semakin menipis dan Donghae masih
belum memiliki kesempatan untuk mengutarakan keinginannya kepada manajer Cho. Donghaepun
berusaha menyabarkan diri ditengah riuh obrolan sang manajer dengan entah siapa
itu karena dia tahu, sedikit saja kesalahan maka uang itu tak akan didapatnya
dan akan sia-sia saja waktunya menunggu ini terbuang.
Akhirnya, sang manajer menutup telponnya juga
setelah empat puluh lima menit. Dengan mata elangnya, manajer Cho menatap
Donghae dengan pandangan menyelidik.
“Siapa kau dan apa maumu?” tanya manajer Cho tanpa
basa-basi yang membuat Donghae sekali lagi harus menyebutkan namanya.
“Nama saya Lee Donghae. Saya adalah pemain yang akan
dikontrak oleh Seoul FC, manajer”
“Pemain baru ya? Hmm..soalnya musim ini kami banyak
sekali mendatangkan pemain baru, jadi tidak hafal satu-persatu.” Ujar manajer
Cho sambil menyalakan cerutunya. Jelas-jelas ruangannya itu berAC, tapi tetap
saja dia merokok. Donghae hanya bisa mndesah dalam hati.
“Saya pemain baru dari Kwon Sang FC, manajer. Saya
adalah scout dari tuan Kim.Mmmm…kedatangan saya kesini untuk memohon sesuatu
kepada anda, manajer.” ujar Donghae berketetapan hati.
“Oh..ya..ya…Kwon Sang FC. Katanya tuan Kim menemukan
seorang pemain berbakat dari sana. Kaukah itu? Lalu apa yang kau inginkan, anak
muda?”
“Saya sebenarnya belum menandatangani kontrak karena
penyerahan berkas kontraknya akan dilakukan dua hari lagi. Maka dari itu hari
ini saya memohon kepada anda. Semoga anda dapat mengabulkan permintaan saya,
manajer. Tadi pagi, teman saya kecelakaan dan dokter memvonis usianya tak akan
lama jika tidak segera dioperasi. Masalahnya, dokter meminta biaya operasi itu
dibayarkan dimuka. Keluarganya adalah orang yang tidak mampu, manajer dan
mereka sangat keberatan untuk membayar biaya sebesar seratus lima puluh ribu
won. Maka dari itu, manajer. Saya meminta kemurahan hati anda untuk memberikan
pinjaman sebesar satu juta won. Saya bersedia bermain tanpa dibayar untuk
melunasinya, manajer.” ujar Donghae panjang lebar seraya berharap-harap cemas,
sang manajer sudi membantunya.
Manajer Cho menatap Lee Donghae dengan tatapan
tajam, kemudian mengalihkan pandangannya pada Ipad yang kini dipegangnya. Tak
lama kemudian, tangannya sibuk mengutak-atik layarnya.
“Kamu tadi bilang akan meminjam uang sebesar satu
juta won? Hmm…padahal disini tertulis kontrakmu hanya sebesar tiga ratus lima
puluh ribu won semusim. Berarti jika aku membayarmu satu juta won di muka, kau
akan bermain disini tanpa digaji selama tiga musim, begitu?”
Doghae mengangguk mengiyakan.
“Hmm…anak muda, apa kau pernah ikut timnas atau
klubmu pernah menjadi juara piala Champion Asia, misalnya?” tanya manajer Cho
tanpa mengalihkan pandangannya dari layar Ipadnya.
“Mwo? Saya belum pernah masuk timnas, manajer. Tapi
saya bercita-cita….”
“Maka dari itu, kenapa berani-beraninya kau mencoba
untuk meminta gaji di muka. Memangnya siapa kamu,heh? Pemain bintang? Pak Kim
katanya menemukan pemain berbakat di Kwon Sang FC, tapi kan itu baru katanya
dan belum bisa dibuktikan. Liga profesional berbeda jauh dengan liga amatir,
anak muda. Tentunya kau menyadari hal itu. Mau bermain tiga
musim,katamu..hah….semusim saja kau mungkin sudah ditendang!” potong manajer Cho
sinis.
“Saya akan berusaha bermain dengan baik sepanjang
tiga musim itu, manajer. Saya berjanji. Jadi saya mohon….” Ujar Donghae dengan
tampang memelas.
“Andew! Janji dan usahamu belum cukup untuk membuatu
terkesan. Sekarang, lebih baik kau pergi saja. Kau akan banyak menyita waktuku
bila terus berada disini” ujar manajer Cho ketus.
Tiba-tiba, Donghae berlutut di lantai. Dengan suara
gemeteran, dia mencoba untuk memohon kepada sang manajer.
“Tuan manajer, saya benar-benar memohon pada anda.
Teman saya sangat membutuhkan operasi itu, jika tidak, dia akan meninggal
dunia. Tuan manajer, saya benar-benar memohon pada anda kali ini”
“Benar-benar tak tahu diuntung! Aku bilang tidak, ya
TIDAK. Sekarang keluar dari kantorku, KELUAR!” ujar manajer Cho dengan geram
penuh kemurkaan.
*********
Donghae duduk di bangku taman rumah sakit dengan
lunglai. Matanya memandang ke arah bangunan rumah sakit berlantai lima belas
itu dengan tatapan menerawang. Hatinya benar-benar sedih sekarang. Bahkan, dia
tak berani untuk masuk dan bertatap muka dengan ibu Nika. Baginya, seolah semua
pintu tertutup. Tak ada kesempatan lagi untuk mendapatkan uang bagi operasi
Shim Nika, berarti harapan hidup gadis itu berada di ujung tanduk. Tak sanggup
rasanya bagi Donghae bila mengingat tenggat waktunya yang semakin menipis.
Perutnya sudah mulai protes minta diisi karena
sedari siang tadi, dia belum makan apapun tetapi Donghae sudah tak berminat
untuk makan. Hatinya terus memaksa pikirannya untuk mencari-cari cara
mendapatkan uang, tapi lagi-lagi terbentur jalan buntu. Terkadang terbersit
keinginan Donghae untuk mencuri atau merampok, untungnya akal sehatnya masih
bisa berpikiran jernih.
Tiba-tiba, suara tangis mengisak memaksa Donghae
sadar dari keruwetan pikirannya sendiri. Donghae menoleh ke arah sumber suara,
yang ternyata seorang gadis. Dia duduk tepat di belakangnya. Sedari duduk tadi,
Donghae tak menyadari bahwa dia dan gadis itu duduk saling memunggungi karena
memang, bangku taman itu dirancang berbeda arah hadapnya.
“Nona, kau baik-baik saja?” sapa Donghae ketika dia
melihat keadaan gadis itu jauh terlihat lebih parah dari dirinya.
“Gomawo” ujar gadis itu dengan gemetar.
Donghae menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan
pandangannya kepada gadis itu agar lebih jelas. Sepertinya dia pernah melihatnya.
Setelah beberapa saat, Donghae menadari bahwa gadis itu adalah orang yang sama
yang ditemuina di lift tadi siang. Putri pemilik Seoul FC, komisaris Shin Dong.
“Nona, kenapa kau disini sendirian? Kemana para
asistenmu?” tanya Donghae lagi.
“Kenapa kau tahu tentang para asistenku?” tanya Shin
Yuri, gadis itu dengan tatapan curiga.
“Jangan salah paham dahulu. Tadi siang, aku satu
lift denganmu saat menuju lantai sembilan. Kulihat kau bersama dua orang asisten
waktu itu” ujar Donghae mencoba menjelaskan.
“Aku ingin sendirian saja saat ini, makanya aku
menyuruh mereka untuk tidak mengikutiku. Hmm…hari ini benar-benar sangat berat
untukku”ujar Yuri sambil menyeka airmatanya.
“Sepertinya kita sama-sama mengalami hari yang
berat, nona.Akupun tak tahu lagi apa yang mesti kulakukan” desah Donghae.
“Terkadang hidup itu mempermainkan manusia dengan
seenaknya. Adakalanya, dia meberikan kita bonus besar berupa tawa yang terbahak-bahak,
hingga kita merasa bahwa tak akan ada lagi hari esok. Tapi disuatu waktu, dia
memeras tawa -tawa itu menjadi butir-butir air mata yang membuat kita berpikir
untuk menyilet pergelangan tangan atau minum racun agar tak menjaadi gila dari
sebelumnya”
“Indah sekali perumpamaanmu, nona. Tapi kehidupan
tak hanya butuh sekedar kata-kata indah. Kau pasti tahu hal itu”
“Aku tahu. Cuma sekarang, aku hanya ingin menjaga
pikiranku agar tetap jernih saja. Aku tak ingin berakhir dengan nadi terpotong
atau mulut berbusa. Huh…mungkin kedengarannya melantur ya, tapi dengan kondisi
ibuku yang belum sembuh dari kanker payudaranya setelah kemoterapi keempat yang
dijalaninya tiga hari yang lalu ditambah dengan ayahku yang terkena gagal
ginjal hari ini, tentu aku harus terus berpikir waras” ujar gadis itu seraya
tersenyum sedih.
“Jadi kedua orangtuamu berada dirawat di rumah sakit
sekarang?”
“Ne. Ibuku sudah sebulan dirawat disini, sedangkan
ayahku baru tadi pagi. Saat dikabari bahwa ayah masuk rumah sakit, aku masih
berada di Busan. Aku menyetir seperti orang gila untuk sampai kemari.Sebenarnya,
ayahku memang sudah mengindap ginjal cukup lama. Dia sedang masuk daftar tunggu
untuk operasi cangkok ginjalnya. Sayangnya, sebelum hal itu terwujud, ayahku
keburu sakit sedangkan dia belum mendapatkan donor sama sekali. Kamu tahulah,
donor ginjal kan tidak mudah. Sekarang, dengan kondisi ayahku yang seperti ini,
aku harus mencari donor secepatnya, karena dokter memvonis bahwa ayahku tak
akan selamat bila tidak bisa dioperasi dalam waktu 2 x 24 jam. Hmff….Aku
benar-benar rela memberikan apapun asal ayahku bisa selamat.” ujar gadis itu
dengan mata menerawang. Oh ya, siapa yang kau tunggui di rumah sakit?” lanjutnya
bertanya kepada Donghae.
“Kekasihku. Dia kecelakaan tadi pagi. “ jawab
Donghae singkat.
“Bagaimana kondisinya?”
“Masih kritis. Dia belum sadar sejak kecelakaan
itu.”
Pikiran Donghae kembali lagi pada Nika yang masih
terbaring tak sadarkan diri dan uang sebesar satu juta won yang harus
dikumpulkannya. Mendadak, terbersit sebuah pikiran dalam kepala Donghae.Mungkin
pemikiran itu amat tak lazim, tapi Donghae merasa semua jalan sudah buntu
untuknya.
“Nona, bagaimana jika aku memberikan sebuah
penawaran padamu?” ujar Donghae seraya mendesah panjang.
Yuri memandang Donghae tak mengerti.
“Maksudku,bagaimana jika aku bisa mendapatkan
seorang donor untuk ayahmu? Apakah kau mau memberikan apa yang aku minta?” ujar
Donghae dengan pandangan serius.
“Mwo? Donor ginjal? Darimana kau akan
mendapatkannya? Lalu kau meminta imbalan apa?” tanya Yuri terkejut.
“Aku ingin uang sebesar satu juta won sebagai imbalannya.
Bagaimana? Jika memang pendonor itu cocok ginjalnya, kau bisa segera
mengoperasi ayahmu”
“Satu juta won? Aku rasa aku bisa menyediakannya.
Tapi siapa yang akan jadi pendonornya? Kau tak bercanda kan?” tanya Yuri dengan
mimik tak percaya.
“Saat ini bukan waktunya untuk bercanda, nona. Yang
jelas, jika memang kau bersedia, sekarang juga mari kita melakukan pengecekan
ke rumah sakit. Kalau memang ginjalnya cocok, kau bisa segera menyerahkan
uangnya padaku”
“Mwo? Ja..jadi…pendonor itu adalah kau? Benar-benar
kau?”
“Ne. Aku yang akan menjadi pendonor ayahmu” ujar Donghae
mantap.
*******
Donghae memandang kedua lembar kertas yang telah
ditandatangani yang berada ditangannya dengan gamang. Ditangan kirinya ada
kontrak dengan Seoul FC, sedangkan ditangan kanannya ada perjanjian pendonoran
organ untuk komisaris Shin. Donghae harus segera memutuskan mana yang dia
pilih. Jika dia memilih kertas ditangan kiri, tetu jiwa Nika tak akan
tertolong. Tapi sebaliknya, jika Donghae memilih yang sebelah kanan, impian
yang dibangunnya selama bertahun-tahun akan runtuh dalam sekejap saja. Juga ada
satu masalah lain yang menyita pikiran Donghae. Selama ini Shim Nika bekerja di
LSM dan sedang mengurusi kasus tentang penjualan organ. Begitu ironis
sebenarnya jika operasi gadis itu akhirnya berkaitan erat dengan kasus yang
mati-matian dia tentang. Donghae ingat ketika mereka sarapan di pagi itu, Nika
dengan semangatnya yang berkobar-kobar, mengutuk segala perbuatan penjualan
organ manusia dan berjanji dengan sepenuh hati bahwa dia akan menumpasnya
sampai ke akarnya. Bila mengingat hal itu, Donghae merasa dia sudah menipu diri
sendiri dan Nika. Tapi sayangnya, dia tak punya pilihan yang lebih baik
sekarang.
Dengan pikiran kacau, ditekannya sebuah nomor yang
sudah dihafalkannya di luar kepala. Terdengar nada sambung tiga kali kemudian
telepon itu diangkat oleh seseorang di seberang.
“Yoboseyo” ujar seseorang dengan suara yang begitu
familiar bagi Donghae.
“Yoboseyo, appa. Maaf, aku pagi-pagi meneleponmu”
ujar Donghae dengan suara tercekat.
“Oh, Haeya. Ada apa? Tak biasanya kau menelepon
sepagi ini. Eommamu sedang tidak ada. Dia pergi ke pasar pagi-pagi sekali.”
“Aku ingin berbicara sesuatu pada appa. Oh ya,
tolong jangan bilang apa-apa pada eomma. Aku tidak ingin dia khawatir”
“Memangnya ada apa, Haeya? Kau tidak melakukan
sesuatu yang melanggar hukum kan?” tanya Appa Donghae penasaran.
“Aniyo, appa. Sebelumnya, aku mau mengaku dahulu.
Appa kan selama ini selalu menyuruhku untuk bekerja di kantor dan meninggalkan
sepakbola. Appa pun memasukkanku untuk kuliah ke jurusan manajemen dan bukan
olahraga. Aku sih menurut saja, walalu sebenarnya disamping aku kuliah disana,
aku juga diam-diam bermain sepakbola di liga amatir, appa. Maaf selama ini aku
seperti membohongimu, tapi menjadi pemain sepakbola adalah cita-citaku semenjak
kecil dan aku ingin sekali mewujudkannya.” Jelas Donghae dengan suara bergetar.
“Benarkah, Haeya? Selama ini kau bermain sepakbola
tanpa sepengetahuan appamu ini? Kenapa kau lakukan ini, anakku? Padahal jika
kau berkata padaku bahwa kaku berkeinginan kuat untuk menjadi pemain sepakbola,
appamu ini akan mendukungmu, Haeya.”
Airmata Donghae menetes begitu mendengar perkataan
ayahnya barusan. Ternyata ayahnya tak sekeras apa yang dipikirkannya.
“Mianhanda. Aku benar-benar tidak tahu jika
appa…..ah, sudahlah. Oh ya, sekarang ini datang tawaran kontrak dari Seoul FC
kepadaku, appa. Nah, dari situ ada yang ingin aku katakan pada appa”
“Omo…Seoul FC, Haeya?! Wah, selamat ya, akhirnya kau
bisa bermain disana juga. Appamu ini benar-benar bangga padamu. “
“Khamsahamnida, appa. Tapi, ada sesuatu hal. Mungkin
terdengar tidak logis, tapi aku berencana untuk tidak mengambil kontrak itu.
Aku tidak akan bermain sepakbola lagi, appa.” Ujar Donghae dengan suara
tercekat. Debaran hebat serasa memalu-malu dadanya.
“Mwo? Kenapa, Haeya? Apakah kau menerima tawaran
dari klub lain?” tanya ayahnya penuh tanya.
“Aniyo. Aku….aku berencana untuk mendonorkan
ginjalku pada seseorang. Karena itu aku tak akan bisa bermain sepakbola lagi,
appa. Mianhanda” ujar Donghae dengan suara bergetar. Tanpa terasa airmatanya
menetes di pipinya. Perasaannya remuk redam sekarang.
“Mwo? Apa aku tidak salah dengar, Haeya? Kau akan
mendonorkan ginjalmu? Waeyo? Kenapa kau lakukan hal seperti itu? Apa kau sudah
tidak puna akal sehat, heh?” suara appanya terdengar gamang di seberang.
Airmata Donghae semakin deras mengalir.
“Itu keputusanku, appa. Mungkin memang tidak masuk
akal, tapi aku benar-benar harus melakukannya untuk menolong seseorang, appa.
Aku harap appa bisa mengerti keputusanku ini. Mianhanda, aku memang anak yang
selalu menyusahkan. Tapi sekali lagi, aku harus melakukannya, appa”
“Huh…baiklah, Haeya” ujar ayah Donghae sambil
mendesah. “ Mungkin buat appa, kedengarannya memang tak masuk akal. Tapi appa
percaya, apapun itu, kau pasti telah memikirkannya masak-masak. Appa akan
selalu mendukungmu, nak, apapun keputusanmu. Appa cuma bisa berpesan satu hal,
Haeya. Kau adalah seorang laki-laki dan sebagai seorang laki-laki, pantang
bagimu untuk menyesali apa yang telah kau putuskan. Dalam hidup ini tak ada
jalan mundur, Haeya, yang ada adalah terus melangkah, seterjal dan segelap
apapun jalan itu. Terus ingatlah, walau jalanan yang kau lalui gelap dan
berbatu tajam, masih ada orang-orang yang mengasihimu dan Tuhan yang selalu
menjagamu. Maka, jangan sekalipun menyerah, anakku.” lanjut ayah Donghae Dengan
suara tegas. Mendengarnya, serasa ada setetes embun dingin yang menyentuh hari
Donghae yang kerontang, membuatnya menjadi damai dalam sekejap.
“Appa, khamsahamnida. Aku menyayangimu.” Ujar Donghae
disela-sela isaknya.
“Appa juga sangat menyayangimu, Haeya. Jaga dirimu
baik-baik. Jika sudah selesai, kirim kabar ya, nak.” Ujar ayah Donghae dengan
suara bergetar di seberang sana. Donghae berasumsi beliau juga menangis.
“Ne, appa. Nanti aku kabari lagi” ujar Donghae
seraya menutup telepon. Kali ini hatinya telah mantap untuk mendonorkan
ginjalnya. Walau dia tahu ayahnya saat ini mungkin sedang bersedih, tapi
percakapannya tadi telah membuatnya yakin atas keputusannya. Donghae segera
meremas lembar kontrak ditangan kirinya dan membuangnya ke tempat sampah.
Mendadak pintu ruang pasien terbuka dan masuklah
Shin Yuri beserta asistennya. Gadis itu
segera menghampiri Donghae yang sedang berbaring di atas ranjang.
“Aku sudah melakukan apa yang kau minta. Aku sudah
bertemu dengan ibu dari kekasihmu dan mengatakan telah membayari seluruh biaya
operasi. Seperti katamu, aku sama sekali tidak menyinggungmu dan mengatakan
bahwa yang membiayai seluruh operasi itu adalah seorang donatur yang tidak mau
disebutkan namanya. Operasinya akan berlangsung pada waktu yang sama denganmu,
tapi berbeda lantai. “ jelas Yuri kepada Donghae.
Donghae menjawabnya dengan mengangguk-angguk.
“Baiklah, apa kau sudah siap? Operasinya akan
berlangsung sejam lagi. Sebentar lagi, kau akan dibawa ke ruang operasi.” tanya
Yuri.
“Gomawo nona atas semuanya. Ne, aku sudah siap”
jawab Donghae mantap.
“Panggil saja aku Yuri, tak perlu sungkan.” ujar Yuri
sambil mencoba tersenyum manis.
“Baiklah, Yuri. Mungkin saja” jawab Donghae getir.
****************
Lampu di ruang operasi di lantai 3 masih saja
menyala setelah dua jam. Didalamnya, Donghae dan komisaris Shin Dong tengah
dioperasi untuk pendonoran ginjalnya. Terlihat Shin Yuri berjalan mondar-mandir
di depan ruang operasi dengan perasaan kalut.
Beberapa saat kemudian, Lampu padam dan pintu
operasi akhirnya terbuka. Tubuh Donghae yang masih dalam pengaruh obat bius
didorong keluar. Akhirnya, lunas sudah tugasnya hari ini. Ginjalnya sekarang
hanya tertinggal sebuah saja dan mimpi sebagai pemain sepak bola telah lenyap
seluruhnya. Tapi nyatanya, Donghae sama sekali tak menyesal dengan pilihannya.
Yang penting, dia berusaha untuk menyelamatkan satu nyawa yang dikasihinya. Yang
diinginkannya hanya satu saat terbangun nanti, yakni melihat senyum dari Shim
Nika. Itu saja, tak lebih. Baginya, senyuman itu adalah hadiah terindahnya
seumur hidup.
Donghae sama sekali tidak tahu bahwa disaat yang hampir
bersamaan, pintu ruang operasi Shim Nika juga telah terbuka. Walaupun, sosok
yang didorong keluar tidak tersenyum seperti keinginan Donghae, tapi telah terbaring
tertutup oleh selimut diiringi jerit tangis ibunya yang memilukan. Shim Nika
telah gagal diselamatkan.
**************
Donghae memandang Nika yang terseyum
manis dengan perasaan yang sulit dilukiskan. Wajah itu masih saja tersenyum
walau bunga aster putih yang dibawa Donghae seminggu yang lalu sudah mengering
dan kelopaknya sebagian berguguran. Donghae segera menggantinya dengan bunga
baru yang dibawanya. Sudah puluhan kali rutinitas itu dilakukannya. Paling lama
sebulan sekali Donghae mengganti bunga itu, tapi dia lebih sering melakukannya
seminggu sekali.
Nika kelihatan cantik seperti biasanya, walau sebenarnya
aslinya jauh lebih cantik. Sekarang, gadis cantik itu berada didalam guci,
tepat dibelakang fotonya yang tertempel di muka laci tempat abu disemayamkan.
Dalam wasiatnya, Nika memang ingin di kremasikan.
Donghae tersenyum memandangi wajah dalam pigura itu.
Upayanya yang gagal menyelamatkan nyawa gadis itu akhirnya membuatnya menarik
kesimpulan akan kehidupan. Pandangannya mengenai hidup langsung berubah drastis
seiring peristiwa itu. Kehidupan manusia memang tak bisa diprediksi.
Seberapapun usaha manusia dengan angka-angka perkiraannya yang menurutnya
mendekati sempurna, benar-benar akan hancur berantakan bila berhadapan dengan
kehendak tuhan. Walaupun demikian, Donghae tak pernah menganggap pengorbanannya
untuk menyelamatkan Nika adalah sebuah kesia-siaan. Tapi, dia merasa dengan
melakukannya dia menjadi berkelimpahan hikmah yang luar biasa yakni kasih
sayang dari orang-orang disekitarnya yang semula dikiranya tak peduli. Dengan
pemikiran itulah, akhirnya Donghae bisa lebih mudah menerima kenyataan akan
kepergian Nika.
“Kau ada disini, rupanya? Aku mencarimu ke rumah,
tapi tidak ada.”
Suara seorang gadis membuyarkan lamunan. Donghae
lalu menoleh ke asal suara dan mendapati Yuri sedang tersenyum padanya.
“Jadi ini Shim Nika itu? Cantik sekali. Dia adalah
gadis yang sangat beruntung.” ujar Yuri sembari mendekat ke altar. “Maaf, Nika.
Baru kali ini aku mengunjungi”lanjutnya kemudian.
“Sebenarnya bukan dia yang beruntung, tapi aku. Aku
sangat beruntung mendapat kesempatan
untuk mengenalnya” ujar Donghae seraya menatap kembali foto Nika.
“Aku juga beruntung bisa mengenalmu” ujar Yuri
sembari tersipu. “Oh ya, kau sudah menerima surat dari Seoul FC? Jika kau mau,
minggu depan kau sudah bisa masuk kerja.” lanjutnya.
“Kenapa kau ingin aku bekerja disana?”
“Selalu ada tempat untuk orang yang berbakat. Walau
tidak bermain bola, setidaknya kau bisa menjadi pemandu bakat kali atau pelatih
tim junior. Kami selalu berusaha untuk berinvestasi pada orang-orang yang tepat
dan menurutku, kau cukup berbakat” ujar Yuri diplomatis sembari tersenyum. “Dan
diatas semua itu, kami sangat membutuhkanmu disana karena kau terbukti adalah
orang yang baik. Tentunya sangat sulit menemukan manusia jenis itu
sekarang" lanjutnya tanpa lekang terseyum manis.
“Akan aku pikirkan tawaranmu, kita lihat saja minggu
depan.” Ujar Donghae seraya membalas senyuman Yuri.
“Aku tidak tahu detail peristiwa yang merenggut
nyawanya, maukah kau menceritakannya padaku, Haeya?”pinta Yuri.
Donghae menghela nafas panjang, memandang wajah Yuri
dengan serius, kemudian menjawab.
“Aku tak akan menceritakan bagaimana dia tewas, tapi
aku akan bercerita bagaimana dia menjalani hidupnya. Mari kita pergi, Yuri.”
Ujar Donghae seraya menarik tangan Yuri. Keduanya pun meninggalkan gedung abu kremasi
itu dengan tenang..
***
THE END**
No comments:
Post a Comment