7.12.11

WHICH STAR ARE YOU FROM ?: CHORUS

CHORUS


Bau disinfektan segera menusuk rongga hidung ketika Hyun melangkahkan kaki memasuki Busan National University Hospital. Hari ini, dia mendapat khabar bahwa Yong dirawat di rumah sakit ini, jadi dia segera meluncur untuk memastikan keadaan Yong.
Hyun tiba dikamar VIP no. 10 itu dengan perasaan gelisah. Dia segera mengetuk pintu dan melangkah masuk. Di ruang tamu, Hyun bertemu dengan ibu Yong yang bermata sembab, kelihatannya dia sedih sekali. Setelah berbasa-basi dan meminta ijin, akhirnya Hyun memasuki ruangan Yong.
Hyun melihat Yong berbaring telentang di tempat tidur. Kepalanya diperban dan sebuah selang infus  menancap di lengannya. Hyun langsung menghampiri Yong dan berdiri di sisi tempat tidur.

“Oppa, bagaimana keadaanmu?”ujar Hyun sembari menatap Yong khawatir. Yong membuka matanya pelan.

“Oh, Hyun ah, kau disini. Syukurlah” ujar Yong seraya menarik tangan Hyun hingga dia dapat memeluk tubuhnya.

“Oppa, waeyo? Sebenarnya apa yang terjadi?” ujar Hyun sambil duduk di sisi ranjang.

“Mereka datang, Hyun. Mereka membunuh Ye Jie” ujar Yong bergetar.

“Mereka itu siapa oppa? Apa maksudmu?”

Hyun melepaskan pelukan Yong dan menatapnya ingin tahu.

“Pemburumu, Hyun. Mereka mengira Ye Jie itu dirimu, lalu mereka membunuhnya!”

“Aigoo….andwe….benarkah itu, oppa? Ottoke…ottoke..”

Hyun pucat seketika. Pikirannya menjadi galau. Akhirnya apa yang ditakuti mulai mengintainya lagi. Melihat hal itu, Yong kemudian mengenggam tangan Hyun.

“Hyun ah, jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja.”ujar Yong menenangkan Hyun.

“Tapi, secepatnya kau harus pulang, Hyun. Sangat berbahaya jika kau keluar disaat seperti ini, apalagi kalau mereka sampai tahu identitasmu. Hyun, segera hubungi tantemu, suruh dia menjemputmu sekarang!” lanjut Yong dengan bersungguh-sungguh.

Hyun pun menurut dan segera menghubungi tante Min Jee. Tak lupa, dengan gemetaran Hyun pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tante Min Jee meresponnya dengan cepat. Dia berkata akan segera menjemput dalam lima menit, di depan pintu rumah sakit.

“Oppa, karena aku kau jadi terluka seperti ini. Dan Ye Jie unnie, dia…meninggal juga karena aku. Mianhanda.” ujar hyun sembari tertunduk.

‘Aku baik-baik saja, Hyun. Kau tak perlu risau seperti itu. Yah, mungkin memang takdir Ye Jie harus meninggal seperti itu. Ikhlaskan saja. Dia sudah damai di sisiNya sekarang. Sekarang ini yang perlu kita pikirkan adalah kau, Hyun ah. Kau harus selamat.”

“Tapi oppa, bagaimana denganmu? Di dekatku, kau juga akan dalam bahaya.”

Air mata menetes di kedua pipi Hujn. Yong pun langsung memeluknya erat.

“Shhh…jangan menangis, Hyun ah. Aku akan bertahan sebaik-baiknya. Aku kan Jung Yong Hwa."

Tiba-tiba, cellphone Hyun bordering. Rupanya tante Min Jee sudah sampai. Yong pun menyuruh Hyun untuk segera turun.

“Hyun ah, jaga dirimu. Sampai jumpa.” Ujar Yong melepas kepergian Hyun.

Ketika sampai pintu, Yongpun tiba-tiba berteriak.

“Hyun ah, tunggu sebentar”

“Mwo,oppa?”

“Hyun ah…saranghanda” ujar Yong sembari menatap Hyun lekat-lekat.

--------------------------00-----------------------------

Gimhae International Airport, Busan : 08.15 pm

Hyun menatap sebuah berita belasungkawa di Busan Daily Post dengan hari teriris. Disana terdapat ucapan belasungkawa anak-anak Blue Code atas meninggalnya Kim Ye Jie, sang kibordis yang tewas tadi malam. Hyun tidak hanya sedih karena tidak bisa menghadiri upacara pemakamannya esok hari, tapi juga karena dialah penyebab kematian Ye Jie.
Hyun menatap papan informasi keberangkatan di depannya, pesawatnya akan take off sepuluh menit lagi. Masih ada waktu untuk mengirim pesan terakhir kepada Yong, batin Hyun dalam hati. Ah, Yong….tak ingin rasanya Hyun meninggalkannya. Apalagi setelah dia mendengar apa yang Yong katakana tadi siang. Hatinya meledak oleh kembang api warna-warni saat Yong menyatakan cintanya, sayang sedetik kemudian langsung meredup oleh bahaya yang akan menghantui mereka jika tetap bersama. Maka, Hyun pun memutuskan untuk menuruti perkataan tante Minje untuk segera pergi dari Busan. Meninggalkan Yong agar orang yang dicintainya itu lepas dari bahaya.
Akhirnya, disinilah dia sekarang. Di antara hiruk-pikuk bandara, menunggu pesawat yang dibeli tiketnya secara mendadak siang tadi dan tumpukan koper yang berisi barang-barang yang diambilnya secara acak karena mereka pergi dengan sangat tergesa-gesa. Hyun pun segera mengirim pesan kepada Yong ketika didengarnya announcer mengumumkan panggilan terakhir kepada penumpang agar naik ke pesawat. Setelah melihat pesannya terkirim, Hyun buru-buru membuang cellphonenya ke tempat sampah.

Di sebuah tempat, 3 kilometer jauhnya dari bandara. Firefly puas melihat kata message received yang tercetak dilayar laptopnya. Urusannya dengan boss telah selesai sepenuhnya sekarang. Laporannya telah dikirim lengkap beserta foto-foto gadis yang terbunuh itu. Sengaja dia tak menyebut anak lelaki yang bersamanya karena dia tidak mau timbul masalah dikemudian hari karena dia gagal membunuhnya juga. Toh juga anak lelaki itu tidak menyebut apa-apa tentang dia pada polisi yang menginterogasinya. Itu sudah cukup membuat Firefly lega. Anak itu memang tidak bodoh.
Tiba-tiba cellphone yang tergeletak di atas meja bergetar. Cellphone itu milik si anak lelaki. Fire fly mengambilnya ketika anak itu masih pingsan. Buru-buru, Firefly menekan tombol on untuk membukanya. Terliaht sebuah pesan singkat dilayarnya yang biru.

Oppa, aku harus pergi sekarang.
Mianhe, tapi aku tak ingin oppa terluka lagi karena aku.
Cukup Ye Jie unnie saja yang menjadi korban,
karena akulah yang mereka buru, bukan kau.
Biarlah aku menghilang dari kehidupanmu
Jaga dirimu baik-baik.
Selamat Tinggal.

Firefly menatap pesan itu dengan marah. Ternyata gadis yang dibunuhnya itu bukanlah orang yang selama ini dia cari.Sekarang, gadis sialan itu malah kabur entah kemana. Boss tidak boleh tahu tentang hal ini. Kalau tidak, dia pasti akan membunuhku, batin Firefly kesal. Kemudian, Firefly melihat pengirim message itu, tercetak nama Seo Hyun disana. Seketika senyumnya melebar. Minimal dia mendapatkan petunjuk tentang gadis itu. Fireflypun segera beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Dibulatkan tekadnya untuk menemukan gadis itu, apapun caranya.

-----------------------------00-----------------------------------

Lima tahun kemudian, di sebuah rumah di kota Nagano, Jepang.

“Mika-san, apakah tanteku jadi pergi ke Tokyo tadi pagi? Aku sama sekali tidak mendapat sinyal di gunung, jadi aku tidak bisa menghubunginya.” tanya Seo Hyun yang sekarang dikenal sebagai Aiko Takahara kepada Mika Yueno, pelayannya.

“Haik. Dia bilang padaku akan pulang Minggu depan. Selain menjenguk nyonya Saki, katanya juga akan mengunjungi mertuanya sekalian, makanya lama. Kakek Jiro sangat ingin bertemu dengan cucunya.”

Aiko tersenyum. Jiro, keponakannya itu memang sangat menggemaskan. Tak heran, siapa saja pasti sangat menyayanginya. Akikopun sangat merindukan Jiro saat ini. Kepergiannya ke camp di gunung mengharuskannnya berpisah dengan malaikat kecilnya itu selama dua minggu.

“Oh ya, nona, tadi pamanmu juga berpesan. Nanti sore akan datang tamu sebanyak 10 orang dari Tokyo. Mereka akan menginap selama dua hari disini untuk syuting. Kenji-san memintamu untuk memenuhi kebutuhan mereka selama disini."

Aiko mengerti. Perkebunan apel milik pamannya itu memang terkadang di datangi oleh orang luar. Biasanya adalah anak sekolah atau kayawan perusahaan yang berkarya wisata atau sekedar refreshing. Apalagi untuk musim panen seperti sekarang ini, banyak sekali yang datang untuk melihat buah apel yang bergerombol menggoda bahkan membantu memetik apel.

“Baiklah, sekarang aku harus pergi ke rumah Toru chan. Bulan lalu, ibunya telah memintaku untuk mengajarinya piano lagi. Katanya akan ada resital bulan depan. Aku tidak enak jika membiarkannya terlalu lama” ujar Aiko.

“ Oh ya, Mika san, tolong kau siapkan makan malam untuk para tamu ya, yang mudah saja. Bumbu kari instan bibi masih kan? Buat itu saja. Mungkin aku pulangnya agak malam, jadi sekalian kau sambut para tamunya. Aku pergi dulu ya”

Mika-san mengangguk mengerti kemudian meneruskan pekerjaannya di dapur.

--------------00------------------

Aiko memakai mengganti sandal rumahnya lalu melangkah keluar. Matahari hampir condong ke barat, ketika Aiko menyusuri jalan setapak disamping kebun apel. Aiko memang sangat menyukai jalan itu. Pemandangan di kanannya adalah kebun apel pamannya yang sekarang berbuah lebat, menciptakan sensasi warna merah spektakuler diantara hjau daunnya. Sementara di sebelah kirinya terdapat jajaran pohon willow dengan ranting-ranting yang merunduk menyentuh tanah.
Damai rasanya berjalan disana di sore hari begini, seperti kedamaian yang dirasakan Aiko selama lima tahun ini. Berangsur-angsur, dia dapat melupakan peristiwa itu. Kasih sayang tante Min Jee dan keluarga barunya membuatnya cepat sembuh dari lukanya. Ya, sejak kedatangannya ke desa Shirae, daerah Nagano ini, lima tahun yang lalu, hidupnya bagai kipas angin yang berputar sangat cepat. Paman Kenji adalah kenalan lama tante Min Jee, yang sekarang telah berganti nama menjadi Mina, sebelum akhirnya mereka menikah setahun setelah mereka tinggal di Jepang. Mereka pun mengangkat Hyun menjadi anak angkat mereka dan mengganti namanya menjadi Aiko Takahara. Keluarga itupun menjadi lebih ramai dengan hadirnya Jiro, anak lelaki tantenya dua tahun kemudian. Hyun aka Aiko telah merasakan bahwa apa yang dipunyainya telah lengkap sepenuhnya, wallu sesekali dia masih memikirkan seseorang yang ada di kota lamanya, Busan. Jung Yong Hwa, nama itu belum sepenuhnya terhapus dari ingatannya.

“ Aiko san, terima kasih kau sudah datang” ujar Nyonya Kanagawa sambil mempersilakannya masuk.
Aiko mengangguk takzim lalu mengganti sepatunya dengan sandal rumah.

“Maaf nyonya, saya baru datang hari ini.”

“Oh, tidak apa-apa, aku tahu kau sibuk. Panen akan dimulai minggu depan bukan?! Aku tahu bagaimana sibuknya menjelang panen seperti ini. Oh ya, akan aku panggilkan Toru dulu, silakan duduk” ujar Nyonya Kanagawa seraya masuk kedalam.

Tak lama, seorang anak kecil berusia delapan tahun masuk ke ruang tamu, diikuti ibunya yang sibuk mengutak-atik tas tangannya.

 “Nah, Toru, hari ini kau akan berlatih piano dengan Aiko. Belajar yang baik ya” ujar Nyonya Kanagawa kepada putranya. Kemudian dia berkata kepada Aiko.

“Aiko san, saya tinggal sebentar ke minimarket ya. Ada beberapa barang yang harus saya beli. Tolong ajari Toru ya. Permisi.”

Aiko pun mengajak Toru chan untuk duduk didepan piano. Segera, dia memainkan sebuah lagu anak-anak untuk pemanasan. Toru san, dengan muka ditekuk, pelan-pelan mengikuti Aiko. Setelah memainkan beberapa lagu, Aiko kemudian membuka buku musik yang ada diatas piano, dan membuka halaman yang memuat karya Beethoven “Fur Elise”. Toru memainkan jemarinya ke tuts piano sambil sesekali melirik not balok dihadapannya.
Aiko melihat permainan piano toru dengan seksama. Anak itu memang memikili bakat bermain piano yang baik, terbukti lagu Fur Elise yang baru dipelajarinya dapat dimainkannya dengan bagus. Hanya sayangnya, hari ini Aiko sama sekali tidak mendapat feel dari lagu itu. Permainan Toru tersengar seperti robot. Ada yang tidak beres, pikir Aiko. Kemudian, dia menghentikan permainan Toru ditengah sesi latihan.

“Toru chan, ada apa? Kenapa kau tidak bersemangat hari ini?”

“Aku tidak apa-apa, Aiko san.” Jawab Toru sambil tertunduk.

Aiko tetap saja mendesak Toru untuk mengatakan yang sebenarnya karena dia hapal betul kebiasaan murid pianonya itu. Tidak mungkin kalau tidak apa-apa. Akhirnya, Toru pun menceritakan masalahnya pada Aiko.

“Berjnjilah untuk tidak menjauhiku setelah kau mengetahui hal ini, Aiko san. Hanya kau yang bisa ku percaya.” Ujar Toru chan dengan serius. Aiko pun mengangguk.

“Aku..aku sudah tidak punya teman lagi disekolah, Aiko san. Teman-temanku menjauhiku,mereka..mereka takut padaku. Bahkan ada yang menjulukiku sebagai penyihir. Aku..aku tidak seperti itu, Aiko san” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
“Memangnya apa yang kau lakukan, Toru chan? Apa kau mengancam mereka?” tanya Aiko lembut.

“Tidak, aku tidak mengancam mereka. Waktu itu…kami sedang bermain bola di lapangan. Tiba-tiba, bolanya menyangkut diatas pohon. Kami kebingungan karena tak ada tangga atau bangku disitu. Ada beberapa temanku yang mencoba untuk memanjat pohon, tapi karena terlalu tinggi, mereka tidak berani untuk naik lagi. Aku pun sangat takut karena itu bola milik kakak kelas. Dia akan memukuli kami jika menghilangkan bolanya.” ujar Toru seraya menyeka air matanya dengan punggung tangan.

“Akhirnya, entah kenapa, ketika aku panik dan memandangi bola itu, tubuhku tiba-tiba saja teangkat ke atas dan aku bisa meraih bola itu dengan kedua tanganku. Ketika sadar, teman temanku sedang memandangiku dan menjerit histeris. Akupun langsung menjatuhkan bola dan turun ke lapangan. Teman-temankupun langsung berlari sambil menjerit-jerit. Sejak saat itulah, mereka menjauhiku."

“Benarkah apa yang kau katakan, Toru chan? Kau bersungguh-sungguh?” Hyun membelalak tak percaya.

“Baiklah, akan kuperlihatkan padamu, Aiko san” ujar Toru sambil seketika melesat naik setinggi dua meter ke udara. Dia bergerak meliuk-liuk kepojok ruangan, lalu kembali keatas kepala Aiko sambil bersalto. Toru lalu mengulangi gerakannya lagi, kali ini dia meluncur vertical ke tanah dengan kepala dibawah, sambil menekan-nekan tuts kesayangannya dan memainkan lagu Are you sleeping? . Aiko yang terbengong-bengong seketika tersadar dari lamunanya dan segera menarik tangan Toru sambil berteriak.

“Hentikan, Toru chan! Ayo, turunlah!” ujar Aiko yang dengan sekuat tenaga menarik tangan Toru. Torupun segera turun dan duduk disampingnya.

“A..ada apa, Aiko san?”

“Toru chan. Berjanjilah padaku. Jangan melakukan itu lagi. Kau mau kan?” ujar Aiko sambil memeluk Toru erat.

“Memangnya kenapa, Aiko san?”

“Karena..karena itu sangat berbahaya. Ada orang-orang yang tak suka dengan anak-anak yang memiliki kemampuan sepertimu. Lalu mereka akan memburu dan menyakiti anak-anak itu. Toru chan, berapa kali kau melakukannya sejauh ini?”

“Baru dua kali ini, Aiko san. Oh, aku sangat takut. Bagaimana ini? ujar Toru dengan panik.

Aiko kembali memeluknya.

“Sudah, tidak perlu cemas. Ada kakak disini. Tapi ingat, jangan sekali-kali kau melakukannya lagi, Toru chan. Karena Para pemburu itu punya alat canggih yang bisa mencari keberadaanmu dari jarak yang jauh.” Ujar Aiko sungguh-sungguh sembari berharap apa yang dilakukan Toru chan tidak terdeteksi oleh para pemburu.

Sayangnya, doa Aiko tak terkabul karena di suatu tempat, alat deteksi berkedip-kedip sembari menampilkan koordinat negara Jepang di sebuah layar lebar. Sang chief pun langsung menekan nomor seorang Paladin yang selalu siap sedia melakukan tugasnya dalam keadaan seperti ini, Firefly.

--------------------00---------------------

 Aiko kembali ke rumah dengan hati galau. Dia sama sekali tak bisa tenang mengetahui kenyataan bahwa Toru juga memiliki kekuatan seperti dirinya.Rawa khawatir menghantuinya karena para pemburu itu tak akan tinggal diam.
“Nona, kau sudah kembali? Rombongannya sudah datang dua jam yang lalu, sekarang mereka sedang menunggu makan malam di ruang makan sayap timur. Oh ya, kata manajernya, dalam rombongan itu ada beberapa orang Korea dan dia meminta kalau bisa ada makanan korea disetiap makannya, minimal kimchi lah. Bagaimana, nona? Apakah perlu saya keluarkan kimchi buatan Nyonya?” cerocos Mika san tatkala Aiko baru saja menginjakkan kakinya dirumah. Aiko merespon dengan mengangguk pelan. Badannya terlalu letih untuk meladeni asistennya itu. Tapi kemudian dia teringat sesuatu.

“Oh ya, Mika san, tolong jangan bilang apa-apa tentang asal usulku dan tante yang orang Korea, mengerti?!” ujar Aiko sembari beranjak ke kamarnya.

Mika san mengangguk walau dalam hati dia bertanya-tanya.
Keesokan harinya, Aiko bangun sangat terlambat. Tadi malam praktis sampai subuh dia tidak tidur sama sekali. Matanya sama sekali tak bisa dipejamkan karena dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal yang mencemaskannya. Dia pun buru-buru turun ke dapur untuk membantu Mika san.

“Konichiwa, Mika san. Maaf aku bangun terlambat.Kau sudah memberikan sarapan untuk para tamu?” tanya Aiko setelah tiba di dapur. Mika san menjawab salamnya dengan anggukan hangat.

“Tidak apa-apa, nona. Aku tadi mengintip ke kamarmu, kulihat tidurmu sangat nyenyak, jadi aku sayang untuk membangunkanmu. Para tamu sudah selesai sarapan. Sutradara dan krunya sudah berangkat ke kebun, sedangkan yang lain masih tinggal di kamarnya. Lebih baik nona menyusul ke kebun, nona kan belum menyapa mereka ” ujar Mika san sambil mengupas bawang.

Aiko mengangguk kemudian melangkahkan kakinya menuju kebun apel. Semilir angin pagi sesekali mempermainkan rambutnya yang coklat Burgundy. Dia suka sekali warna rambutnya yang sekarang. Sengaja Aiko memilih warna itu agar matanya terlihat lebih hidup. Aiko memang seolah berusaha untuk menjadi pribadi yang baru setelah kepergiannya dari Korea. Dia memilih untuk mengubah penampilannya dari gadis sekolah yang pemalu menjadi lebih fashionable dengan menambahkan make up dan mengecat rambutnya. Bahkan tantenya pun tidak dapat mengenalinya saat dia pulang dari salon untuk pertama kali.
Akhirnya, Aiko tiba di lokasi syuting. Dua orang Kru sedang mencoba untuk menyokong ranting-ranting pohon apel yang sarat akan buah apel ranum agar mendapat ruang untuk pengambilan gambar, sedangkan seorang lagi sedang melapisi bagian bawah pohon dengan karpet plastik. Aiko bejalan menghampiri sang sutradara dan manajer yang sedang bercakap-cakap, kemudian menyapanya mereka dengan sopan. Rupanya sang sutradara adalah kenalan lama paman Kenji. Dia sudah lama terpesona dengan kebun apel ini hingga memilihnya untuk lokasi video klip yang sedang digarapnya. Setelah berbasa-basi sebentar, Aiko pun segera undur diri untuk kembali ke rumah. Sengaja dia berjalan diantara pohon-pohon apel dan tak memilih jalan setapak yang ada karena dia ingin mencari sedikit ketenangan batin disana.
Setelah berjalan beberapa saat, sayup-sayup Aiko mendengar derai tawa dari arah jalan setapak. Mungkin itu para tamu yang lain, batinnya. Dengan rasa ingin tahu, Aikopun mengintip dari balih sebuah pohon apel yang brimbun kearah datangnya suara. Ternyata benar dugaannya. Empat orang pemuda sedang berjalan menuju lokasi syuting sambil bercanda. Kelihatannya mereka akrab satu sama lain. Salah satu pemuda yang berbadan paling tinggi terlihat sedang mempermainkan topi rekannya yang memiliki eye smile sambil tertawa-tawa. Sementara, dua pria lainnya, memperhatikan mereka sambil terkikik menutupi mulut. Jarak mereka dengan tempat Aiko bersembunyi semakin dekat, hingga Aikopun semakin jelas melihat mereka. Tiba-tiba, Aiko memekik tertahan sambil menutup mulut tatkala salah satu pemuda yang terkikik geli tadi melepaskan tangannya dari mulut. Dia adalah…Jung Yong Hwa.

---------------------00--------------------

Aiko duduk di atas dahan sebuah pohon apel rindang, di bagian kebun yang lain dengan pikiran galau Jung Yong Hwa benar-benar berada di sini dan dia sangat tidak siap untuk bertemu dengannya hari ini. Sebenarnya sih dalam hatinya, entah disudut mana, ada setitik kebahagiaan tatkala melihatnya Tapi ketakutan sepenuhnya masih menguasai pikirannya, ditambah lagi peristiwa dengan Toru chan kemarin yang masih menghantuinya hingga kini
Sayup-sayup dia mendengar kegaduhan di lokasi syuting Musik telah diperdengarkan, sebuah irama rock yang ceria.Tentunya itu lagu baru mereka, pikir Aiko sendu. Alunan musik itu mengalir hingga sang Vokalis tiba di bagian verse, Aiko tiba-tiba tersentak. Lagu itu seolah familiar baginya.Ya, dia pelan-pelan ingat, bahwa lagu itu adalah lagu yang dinyanyikan Yong di bangku taman dekat kantor pos Busan, lima tahun yang lalu, dan lagu itu khusus dibuat Yong untuknya. Aiko tercenung sembari mendengarkan lagu itu, menajamkan telinganya agar bisa mendengar liriknya baik-baik. Tak terasa, sebutir airmata jatuh dipipinya. Aiko pun masih saja tergugu di tempatnya duduk tatkala musik yang di dengarnya sudah lama berhenti dan matahari telah condong ke arah barat, menyisakan lerat-lerat cahayanya yang kuning keemasan jatuh dirumpun-rumpun apel, membuatnya berpedaran. Tiba-tiba…

“Hei, kau yang diatas sana. Bolehkah aku duduk disitu juga Sepertinya nyaman sekali”

Sebuah suara membuat Aiko membeku sesaat. Dia sangat familiar dengan suara itu. Setlah pulih dar terkejutnya, Aiko serta merta mmneghapus airmatana yang tanpa sengaja membuat rambutnya jatuh didepan muka hingga orang itu tidak dapat melihat wajahnya

“Oh,mm…kau mau duduk di sini? Silakan saja, aku sudah selesai kok. Baiklah, aku akan turun” ujar Aiko gugup sembari berusaha turun dari dahan pohon yang lumayan tinggi itu.

Entah karena gugup atau ingin secepatnya pergi, akhirnya sewaktu medarat, Aiko kehilangan keseimbangan dan seketika tubuhnya oleng kesamping. Terkejut, dia menumpukan berat badannya ke kaki kirinya, yang tak mampu menopang seluruh berat badannya hingga akhirnya Aiko limbung ke samping. Sebuah buni berdebam membahana ketika tubuhnya menyentuh tanah.

“Hei nona, kau tidak apa-apa?”

Sebuah tangan menjangkau bahunya dari belakang. Buru-buru, Aiko menepisnya dan berusaha berdiri, sembari tetap menjaga rambutnya agar menutupi muka.

“Aku tidak-apa-apa terima kasih. Aku pergi dulu” ujar Aiko sambil berlalu, walau dirasakannya nyeri yang amat sangat mulai merambati kaki kirinya itu Membuat jalannya terpincang-pincang. Dia terkilir rupanya.

Mendadak, sebuah tangan melingkari tubuhnya dengan erat hingga Aiko terbantu jalannya.

“Aku akan membantumu, nona. Alihkan berat tubuhmu ke badanku” ujar cowok tadi sambil menyejajari langkah Aiko Mau tak mau, Aikopun menurut sambil mengarahkan langkahnya ke rumah Perasaannya campur aduk hingga dia tak mampu berkata-kata hingga mereka tiba di beranda rumahnya Mika san yag sedang menyiram bunga langsung berteriak panik.

“Ya tuhan….nona, ada apa? Kau terluka ya?”

“Tolong ambilkan balsam. Aku akan mencoba mengobati kakinya yang terkilir” ujar Yong Hwa seraya mendudukkan Aiko ke bangku kayu.

Mika san mengangguk dan langsung berlari ke dalam, beberapa saat kemudian dia datang sambil membawa balsam. Yong langsung mengambilnya dan mulai mengurut kaki Aiko. Mika san pun minta diri untuk meneruskan pekerjaannya di dapur.
“Kakimu sudah ku pijat, hari ini kau beristirahatlah. Besok pasti kakimu sudah membaik”

“Arigato” ujar Aiko pelan dan tanpa sadar menyibakkan rambutnya yang menutupi muka ke belakang. Ketika matanya bersirobok dengan Yong, seketika dia sadar apa yang telah terjadi Lelaki di depannya itu memandang dengan ekspresi terkejut.

“Kau..kau….Hyun ah! Kau..Seo Hyun?” ujar Yong dengan mulut ternganga.

Hyun serta merta memasang tampang datar, walaupun hatinya bergolak hebat. Tidak, kali ini dia tidak boleh luluh, hingga Yong tahu dia memang Hyun. Dia harus menyembunyikan identitasnya karena akan sia-sia saja pelariannya ke Jepang selama lima tahun jika Yong menemukannya. Seohyun sudah mati sejah lima tahun, batin Aiko getir.

“Maaf, apa maksudmu? Aku Aiko, bukan Seohyun. Kau ini salah orang.” Ujar Seohyun dengan ketenangan luar biasa.

“Ah, aku tak percaya. Walau kau sudah mengubah dandananmu dan memakai make up seperti ini, tapi aku masih bisa mengenalimu, Hyun Ah.Kau jangan bohong kepadaku” ujar Yong sembari memegang sedua bahu Aiko. Aikopun berusaha untuk melepaskan diri.

“Aku tidak berbohong, kepadamu. Maaf, tapi namaku benar-benar Aiko Takahara. Jika kau tidak percaya. Cek saja kartu identitasku. Maaf, aku tidak kenal dengan wanita yang kau bicarakan itu. Mungkin kami mirip, tapi aku bukanlah dia!” ujar Aiko dengan nada tinggi.

“Tapi…tapi kau….”

Perkatan Yong terpotong oleh suara derum mobil yang memasuki halaman rumah pertanian itu. Setelah mobil itu berhenti di depan rumah, keluarlah seorang pria setengah baya berbusana resmi. Mengetahui ada tamu yang datang, Hyun pun segera membenahi rambutnya dan menegakkan duduknya, sembari bertanya-tanya siapakah gerangan orang itu.

-------------00----------------

Firefly memelankan laju mobilnya ketika melewati gerbang desa Shirae.Dia sedikit bernafas lega karena desa ini begitu terpencil hingga butuh waktu lama untuk menemukannya. Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, pertanda malam hampir segera tiba. Fireflypun berpikir untuk menunda perburuannya hingga esok hari dan memilih mencari penginapan. Kata orang di desa sebelah, di Shirae tidak ada rumah penginapan, satu-satunya home stay di desa itu adalah di sebuah perkebunan apel di ujung utara desa. Fireflypun segera mengarahkan mobilnya kesana.
Pemandangan yang elok di desa Shirae membuat Firefly menjadi rileks. Apalagi ketika dilihatnya deretan pepohonan apel yang berjajar rapi disisi jalan, membuatnya ingin segera beristirahat. Firefly kemudian membelokkan mobilnya saat sampai di gerbang perkebunan apel dan memarkirnya tepat di depan rumah pertanian itu. Dia melihat sepasang anak muda sedang bercakap-cakap di beranda rumah. Kebetulan sekali, pikir Firefly senang. Dia bisa langsung meminta kamar untuk beristirahat, jika mereka adalah pemilik rumah. Tiba-tiba, Firefly tertegun melihat salah satu dari kedua orang tersebut. Sepertinya dia pernah bertemu dengan lelaki itu.

--------------00-------------- 

No comments:

Post a Comment